Sabtu, 13 September 2008

MEMAKNAI SE-ABAD HARI KEBANGKITAN NASIONAL

Tidak terasa, perhimpunan nasional Boedi Oetomo yang didirikan pada 20 Mei 1908 sudah seabad usianya. Tanggal berdirinya Boedi Oetomo yang diabadikan sebagai hari kebangkitan nasional ini merupakan organisasi yang bertujuan memajukan nusa dan bangsa serta mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa yang lebih terhormat.
Ada tiga variabel yang tersirat dalam tujuan berdirinya Boedi Oetomo, yakni : pertama, bagaimana nusa dan bangsa ini dimajukan; kedua, bagaimana cita-cita kemanusiaan dimerdekakan; dan ketiga, bagaimana kehidupan bangsa ini terhormat dan bermartabat, terutama dimata dunia internasional.
Ketiga variabel di atas merupakan substansi nilai dari makna kebangkitan nasional yang secara regenerasi harus dipertahankan dan diaktualisasikan dalam kerangka yang dinamis sesuai konteks jamannya. Ini berarti bahwa kita sebagai anak bangsa harus senantiasa melakukan redefinisi dan revitalisasi atas makna kebangkitan secara visioner dan futuristik agar pembangunan bangsa tak berjalan ditempat, namun melangkah lebih jauh mengejar ketertinggalan dan keterbelakangan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Makna Kebangkitan
Pada jaman revolusi, makna kebangkitan nasional dimanifestasikan dalam konsep dan cita-cita yang sama untuk bangkit melawan hegemoni bangsa penjajah. Saat kemerdekaan diraih, kebangkitan nasional diwujudkan dalam pembangunan. Ketika pembangunan berjalan, kebangkitan nasional (mestinya) harus mencerminkan kesejahteraan rakyatnya. Rakyat yang sejahtera, negara yang maju, adil, berkembang dan modern merupakan substansi nilai dari cita-cita kebangkitan nasional yang hendak diraih.
Ironisnya, setelah satu abad kebangkitan nasional berlangsung, keadaan bangsa ini masih belum beranjak dan bangkit dari tidurnya untuk menatap masa depan yang lebih baik. Bahkan semakin dililit oleh berbagai persoalan yang tak kunjung usai. Sementara negeri tetangga yang dulu banyak belajar di negeri ini, semakin melesat jauh meninggalkan kita. Lalu, apa yang salah dengan negeri ini?
Waktu se-abad bukan masa yang pendek. Jika kita mau belajar konsisten dan sungguh-sungguh, negeri yang dianugerahi Tuhan berlimpah kekayaan dan kearifan aneka ragam budaya bangsa yang mulia dan agung, maka bangsa Indonesia bukan hanya bangkit tapi akan mampu menjadi negara raksasa yang disegani dunia internasional.
Bangkit dari ketertinggalan dalam segala hal dari bangsa lain. Bangkit bukan sekadar melepaskan diri dari belenggu penjajah yang selama berabad-abad menghisap nusa dan bangsa Indonesia. Tetapi bangkit untuk mensejahterakan rakyatnya, memanusiakan seluruh elemen masyarakat yang ada dalam Negara Indonesia. Bukankah kita sudah mempunyai modal dasar yang besar untuk meraih segala impian itu?
Momen seabad kebangkitan nasional saat ini harus dijadikan sebagai entry point untuk melakukan redefinisi dan reaktualisasi akan makna kebangkitan nasional melalui pendekatan yang menyeluruh. Di bidang pendidikan dan peningkatan SDM hendaknya menjadi prioritas bangsa untuk bangkit menghadapi kebodohan. Caranya, pemerintah harus memberikan kesempatan yang tak diskriminatif kepada seluruh anak bangsa untuk mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi dengan biaya murah tanpa mengabaikan kualitas, agar lahir anak bangsa yang berkualitas pula.
Bangsa yang cerdas dan berbudi pekerti luhur, akan mampu menjawab tantangan yang dihadapinya. Mereka akan mampu mengelola ekonomi yang dapat mensejahterakan rakyatnya; mereka juga akan dapat melindungi rakyatnya dari segala macam bentuk tekanan; mereka akan harmoni dan tetap bersatu dengan keberagaman.
Dengan kearifan berfikir, sesungguhnya makna kebangkitan tadii masih belum sepenuhnya merasuk ke hati sanubari bangsa Indonesia. Bangkit masih diartikan sempit, yakni sudah terbebas dari penjajah. Padahal, dalam arti yang luas, bangkit ini merupakan satu semangat untuk bisa berbenah diri, yang selanjutnya bisa mencapai apa yang diimpikan yakni kesejahteraan lahir batin bagi bangsa Indonesia.
Tentu makna kebangkitan ini akan bergeser mengikuti gerak maju jaman. Boedi Oetomo adalah spirit sekaligus inspirasi yang harus diartikan dan diterjemahkan dalam tindakan nyata setiap gerak langkah bangsa Indonesia.
Bangkit untuk kesejahteraan bangsa Indonesia secara bersama-sama. Bukan bangkit untuk mensejahterakan segelintir orang atau golongan. Bukan bangkit untuk mendewakan satu suku, golongan atau agama tertentu melainkan bangkit untuk lebih memanusiakan semua elemen bangsa Indonesia.
Seluruh elemen bangsa harus bisa bangkit membasmi penghisapan oleh satu golongan tertentu atas golongan lainnya. Bangkit sesuai fitrah dan karakter bangsa Indonesia. Bukan bangkit yang membabi buta terlebih menjurus ke anarkis! Melainkan bangkit dengan membawa karakter profesinya. Bekerja lebih giat, belajar lebih tekun, berkarya lebih berarti serta mengabdi lebih tulus, ini mungkin lebih manusiawi dan bermartabat!
Tentu saja kita berharap makna kebangkitan nasional bukan sekadar manis di bibir atau enak didengar sebagai jargon semata. Tapi lebih pada tindakan nyata dari makna bangkit itu sendiri. Bangkit yang lebih universal yakni bangkit melawan ketidakadilan, bangkit menentang kesewenang-wenangan, bangkit mengejar ketertinggalan dari bangsa lain dalam berbagai bidang kemahslahatan umat. Mungkin ini makna kebangkitan nasional yang ada dalam benak serta keinginan luhur para pendiri negara ini.
NICO ainul yakin
Pemimpin Umum/Redaksi

1 komentar:

andreas iswinarto mengatakan...

Jejak Langkah Sebuah Bangsa, Sebuah Nation

Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya,
kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya.
Kalau dia tak mengenal sejarahnya.
Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya,”

-Minke, dalam Novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer-
Dikutip Kompas di tulisan pembuka liputan khusus Anjer-Panarukan

Saya memberikan apresiasi yang besar kepada Koran Kompas dan juga kalangan pers pada umumnya yang secara intens dan kental mendorong munculnya kesadaran historis sekaligus harapan dan optimisme akan masa depan Indonesia. Mempertautkan makna masa lalu, masa kini dan masa depan. Ini nampak paling tidak sejak bulan Mei secara rutin Kompas memuat tulisan wartawan-wartawan seniornya dan mungkin beberapa orang non wartawan kompas bertajuk 100 Tahun Kebangkitan Nasional . Patut diapresiasi pula liputan besar Kompas “Ekspedisi 200 Tahun Jalan Pos Anjer-Panaroekan”.

Daniel Dhakidae yang juga menjadi salah satu penulis seri 100 Tahun Kebangkitan Nasional Kompas ini pernah mengatakan bahwa “sejarah bukan masa lalu akan tetapi juga masa depan dengan menggenggam kuat kekinian sambil memperoyeksikan dirinya ke masa lalu. Warisan tentu saja menjadi penting terutama warisan yang menentukan relevansi kekinian. Apa yang dibuat disini adalah melepaskan penjajahan masa kini terhdap masa lalu dan memeriksa kembali masa lalu dan dengan demikian membuka suatu kemungkinan menghadirkan masa lalu dan masa depan dalam kekinian”. (Cendekiawan dan Kekuasaan : Dalam Negara Orde Baru; Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal xxxii)

Dalam bukunya itu contoh gamblang diperlihatkan oleh Dhakidae, dimana sebelum sampai pada bahasan masa Orde Baru ia melakukan pemeriksaaan wacana politik etis sebagai resultante pertarungan modal, kekuasaan negara kolonial, dan pertarungan kebudayaan antara Inlander vs Nederlander, antara boemipoetra dan orang Olanda. Baginya zaman kolonial menjadi penting bukan semata sebagai latarbelakang, akan tetapi wacana itu begitu menentukan yang dalam arti tertentu bukan saja menjadi pertarungan masa lalu akan tetapi masa kini.

Kompas saya pikir telah mengerjakan ini dengan sangat baik dan saya mendapatkan pencerahan dari sana (o iya Bung Daniel adalah juga kepala litbang Kompas)

Untuk meningkatkan akses publik ke seluruh tulisan-tulisan berharga ini, saya menghimpun link seri artikel Kompas bertajuk 100 Tahun Kebangkitan Nasional ini. Sebelumnya saya juga telah menghimpun link seri liputan Kompas Ekspedisi 200 Tahun Jalan Raya Pos Anjer-Panaroekan : Jalan (untuk) Perubahan.

Demikian juga saya telah menghimpun link-link ke artikel-artikel Edisi Khusus Kemerdekaan Majalah Tempo tentang Tan Malaka “BAPAK REPUBLIK YANG DILUPAKAN. Sebagai catatan tulisan tentang Tan Malaka juga ada di dalam seri tulisan Kompas seputar 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Apresiasi tinggi pula untuk Majalah Tempo.

Akhir kata secara khusus saya menaruh hormat kepada Pramoedya Ananta Toer yang telah menjadi ‘guru sejarah’ saya melalui karya-karya sastra dan buku-buku sejarah yang ditulisnya. Saya pikir bukan sebuah kebetulan Kompas mengutip roman Jejak Langkah sebagai pengantar liputan khususnya, juga dari buku Pram Jalan Raya Pos, Jalan Daendels- “Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain”.

Tidak lain juga sebuah penghormatan kalau tidak pengakuan terhadap sumbangan Pram untuk negeri ini. Diakui atau tidak.

Salam Pembebasan
Andreas Iswinarto

Untuk seri tulisan 100 Tahun Kebangkitan Nasional
Kipling, Ratu Wilhelmina, dan Budi Utomo; Renaisans Asia Lahirkan Patriotisme Bangsa-bangsa; Semangat Kebangsaan yang Harus Terus Dipelihara; Menemukan Kembali Boedi Oetomo; Ideologi Harga Mati, Bukan Harta Mati; Pohon Rimbun di Tanah yang Makin Gembur; Mencari Jejak Pemikiran Hatta; Membangun Bangsa yang Humanis; Tan Malaka dan Kebangkitan Nasional; Kaum Cerdik Pandai, antara Ilmu dan "Ngelmu"; Masa Depan "Manusia Indonesia"-nya Mochtar Lubis, Menolak Kutukan Bangsa Kuli; Pendidikan dan Pemerdekaan; Kembali ke PR Gelombang Ketiga; Kebudayaan dan Kebangsaan; Musik Pun Menggugah Kebangsaan...

Silah link ke
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/jejak-langkah-sebuah-bangsa-sebuah.html

Ekspedisi Kompas 200 Tahun Anjer-Panaroekan
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/belajar-dari-sejarah-sebuah-jalan-200.html

Edisi Kemerdekaan Tempo dan 12 buku online : Tan Malaka
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/tan-malaka-bapak-republik-revolusi.html