Sabtu, 13 September 2008

MEMILIH CALON GUBERNUR YANG PEMIMPIN

Secara historis, Jatim pernah menjadi pusat kekuasaan raja-raja termashur di nusantara dari abad 10 sampai abad 13 M. Dalam kurun waktu tersebut, setidaknya ada tiga kerajaan besar yang disegani, yaitu: kerajaan Kediri, Singosari dan Majapahit. Kerajaan Majapahit yang berdiri tahun 1292 berhasil mencapai puncak kejayaannya dengan mempersatukan nusantara. Sejarah kesuksesan sejumlah kerajaan di Jatim, bukan hanya dalam perspektif politik, namun juga peradaban dan pembangunan ekonomi yang berkembang dan maju dibanding daerah lain di nusantara.
Kejayaan kerajaan di Jatim lebih banyak dipengaruhi oleh kemampuan sang raja dalam membawa negerinya agar semakin maju. Raja pada jaman itu, bukan hanya penguasa yang memimpin kerajaan, namun juga pemimpin yang dapat membawa kesejahteraan rakyatnya. Bila sang raja lemah, tentu kerajaannya pun ikut lemah. Sebaliknya, bila rajanya kuat, maka kerajaan itu akan kuat pula.
Kini, Jatim bukan lagi kerajaan, tapi menjadi bagian integral dari sebuah negeri bernama Indonesia. Daerah ini tidak boleh terpuruk dan terbelakang akibat terpaan beragam masalah.
Kejayaan di daerah ini pernah diraihnya di masa silam. Mengembalikan kejayaan dalam konteks kekinian, sangat bergantung kepada pemimpinnya dan geliat rakyatnya untuk melakukan perubahan. Momen perubahan, sudah didepan mata, karena sebentar lagi daerah yang memiliki jumlah penduduk terbesar di nusantara akan menggelar pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang akan dipilih secara langsung oleh 26 juta lebih rakyatnya.
Nasib Jatim lima tahun mendatang akan ditentukan oleh 29 juta lebih penduduk yang akan memberikan hak pilihnya pada pilgub 23 Juli mendatang. Pilgub bukan hanya memilih calon gubernur. Sebab, siapapun yang telah memenuhi standart persyaratan calon, bisa dipilih menjadi gubernur, sekalipun itu tukang becak, seperti yang terjadi di Jakarta beberapa tahun lalu, dimana seorang tukang becak, ikut mendaftar menjadi calon gubernur DKI Jaya.
Kejadian ini, tak lebih dari sebuah sindiran bagi masyarakat dan insan politik yang melek, agar tidak main-main dalam memilih calon gubernur. Karena pekerjaan gubernur bukan hanya menjalankan pemerintahan yang digerakkan oleh sistem. Ia harus mampu membawa angin perubahan, terutama dalam hal mensejahterakan rakyatnya.
Kalau hanya memilih calon gubernur, gampang. Lha wong tanpa gubernur pun, pemerintahan akan tetap jalan koq. Dengan sistem yang sudah tertata dengan baik, pemerintah daerah akan tetap berjalan dan tidak akan mandek.
Kejadian seperti ini pernah terjadi di Sampang beberapa tahun yang lalu. Salah satu kabupaten di kawasan pulau garam itu pernah tidak memiliki bupati dalam kurun waktu yang cukup lama, namun pemerintahan tetap jalan. Mengapa demikian, sebab kerja birokrasi digerakkan oleh sistem, sehingga meskipun tanpa kepala daerah, pemerintahan tetap jalan seperti biasanya.
Yang paling sulit adalah memilih calon gubernur yang pemimpin atau pemimpin yang gubernur. Gubernur yang pemimpin atau sebaliknya, menunjuk kepada kredibilitas, kapabilitas dan akuntabilitas sang gubernur dalam proses kepemimpinan ke depan dengan segala problematika yang dihadapi daerahnya. Dengan demikian, seorang gubernur belum tentu mencerminkan seorang pemimpin.
Untuk mengenali bahwa calon gubernur tersebut juga seorang pemimpin dapat dilihat dari perspektif teori kepemimpinan. Secara teoritik kepemimpinan itu adalah ilmu sekaligus seni. Kepemimpinan yang hanya berkonotasi ilmu akan melahirkan seorang pemimpin yang kaku, birokratis, tak cerdas, tidak komunikatif bahkan feodal. Pada bagian lain, kepemimpinan yang terminologinya menunjuk kepada ilmu dan seni sekaligus, akan melahirkan seorang pemimpin yang populis/merakyat, visioner, bertanggung jawab dan mengayomi seluruh warganya tanpa diskriminatif.
Potret birokrasi yang selama ini berjalan selama ini baru mencapai bentuk atau struktur, belum diikuti oleh nilai-nilai memadai yang dapat menjadi bagi bagi terbentuknya civil society. Birokrasi yang tumbuh dan berkembang ini adalah birokrasi patrimonial yang melahirkan hubungan antara patron dengan klien; mirip hubungan antara punggawa dan wong cilik atau juragan dengan kawula. Pola kekuasaannya bersifat personalistik dan pola kepemimpinannya bercorak paternalistik.
Budaya birokrasi seperti ini harus segera dirubah, karena akan mematikan kreasi warganya dalam berbuat dan berusaha. Budaya absolut harus ditinggalkan agar terjadi keseimbangan antara sang pemimpin dan masyarakat yang dipimpinnya.
Budaya dan penampilan birokrasi seperti ini, telah melahirkan distorsi terhadap peran dan fungsi birokrasi yang melayani, karena substansi birokrasi melayani bukan minta dilayani atau dalam bahasa lain, birokrat itu adalah pelayan umat (al khadimu al ummah).
Calon gubernur Jatim mendatang, harus mampu melakukan perubahan radikal terhadap potret birokrasi yang masih bercorak feodal karena sudah bukan jamannya lagi. Gaya kepemimpinan calon gubernur Jatim, secara fisik dapat dilihat dari performance dan pengalamannya. Bila mereka yang memiliki gaya seperti ini terpilih, dikhawatirkan akan membawa petaka bagi provinsi di ujung timur pulau Jawa ini.
Tulisan ini tidak akan mengarahkan atau menggiring pembaca untuk memilih calon tertentu, karena masyarakat Jatim sudah banyak yang melek politik. Masyarakat sudah bisa menilai, siapa calon gubernur Jatim yang pemimpin itu?
Nico Ainul Yakin
Pemimpin Redaksi tabloid Kerja

Tidak ada komentar: