Sabtu, 13 September 2008

KEBERPIHAKAN ISLAM TERHADAP BURUH


Oleh : Nico Ainul Yakin
Sejauh ini gerakan buruh dimanapun, (hampir) selalu dipersepsikan sebagai gerakan kiri yang bercorak sosialis. Persepsi itu ada benarnya, apabila dikaitkan dengan peristiwa Haymarket, 1 Mei 1886, di mana sekitar 400 ribu buruh di Amerika Serikat mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja mereka menjadi 8 jam sehari --- yang dibalas dengan tindakan represif aparat kepolisian setempat dengan cara menembaki para demonstran, menangkap dan menghukum mati para pemimpinnya.
Peristiwa Haymarket tersebut telah menjadi inspirasi bagi kaum buruh di sejumlah negara di Eropa dan Amerika untuk membangun solidaritas buruh internasional dalam memperjuangkan hak-haknya.
Pada Juli 1886, mereka menyelenggarakan Kongres Sosialis Dunia di Paris yang melahirkan resolusi berisi : “Sebuah aksi internasional besar-besaran harus diorganisir pada satu hari tertentu di mana semua negara dan kota-kota pada waktu yang bersamaan, pada suatu hari yang disepakati bersama, semua buruh menuntut agar pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Perancis”. Resolusi tersebut juga menetapkan peristiwa Haymarket di AS tanggal 1 Mei, sebagai hari buruh sedunia.
Resolusi Kongres Sosialis Dunia ini mendapat sambutan yang luar biasa dari berbagai negara dan tanggal 1 Mei, yang disebut dengan istilah “May Day”, diperingati oleh kaum buruh di berbagai negara, meskipun mendapat tekanan keras dari pemerintah mereka, termasuk di Indonesia.
Persepsi yang menyebut gerakan buruh sebagai gerakan kiri menjadi tidak relevan jika dikaitkan dengan konsepsi agama, dimana semua agama memiliki konsep yang universal tentang keadilan dalam konteks perburuhan.
Buruh juga manusia. Setidaknya itu yang menjadi konsep dasar agama-agama menempatkan buruh pada proporsinya. Hak-hak kemanusiaan buruh yang universal secara umum berkisar pada masalah-masalah: (1). hak atas upah yang layak; (2). Hak untuk tidak dieksploitir; (3). Hak atas perlindungan kerja.
Ketiga hak tersebut merupakan esensi dari hak-hak dasar buruh yang harus diperhatikan oleh para penguasa (pemerintah) dan pengusaha (pemilik modal) agar tercipta situasi yang seimbang dan kondusif dalam iklim dunia usaha. Buruh bukanlah obyek, tapi subyek dari sebuah proses usaha yang berkaitan satu sama lain.
Pertalian antara Islam dan buruh, memang jarang dikupas oleh para pendakwah. Padahal dalam banyak referensi seperti dikutip Abdul Hady (2008) --- keberpihakan Islam terhadap buruh cukup banyak ditulis oleh para ulama fikih seperti terdapat dalam kitab “al-Iqna” karya Syaikh Muhammad al Syarbani dan kitab hadits Shahih al Buchori karya Imam al Buchori yang disusun dalam bab tersendiri, yakni “al Ijarah”. Para ulama fikih klasik mengistilahkan buruh dengan kata “ajir” yang berarti “orang yang bekerja”.
Peristiwa hukum penggal terhadap tokoh Sufi al Hallaj sangat erat kaitannya dengan fenomena perburuhan dan sama sekali tidak berhubungan dengan konsep al wihdatu al wujud (manunggaling kawulo gusti) yang dibawanya. Konsep al Hallaj tentang al wihdatu al wujud atau Ana al Haq telah dijadikan khalifah sebagai justifikasi pembenar untuk menjatuhkan hukuman mati kepada tokoh Sufi itu, karena dinilai menyebarkan aliran sesat.
Diceritakan oleh Hady, bahwa al Hallaj selain menjadi tokoh Sufi terkenal yang banyak diikuti oleh umat Islam, juga menjadi tokoh buruh yang ditengarai oleh penguasa saat itu sebagai penggerak buruh Katemain yang menentang kebijakan-kebijakan khalifah. Tentu saja, gerakan al Hallaj ini sangat mengkhawatirkan posisi khalifah. Lalu, penguasa melakukan konspirasi dengan ulama kebanyakan untuk mencari alasan yang dapat digunakan mengeksekusi al Hallaj; dan alasan yang digunakan adalah ajaran al Hallaj tentang al wihdatu al wujud itu yang dihukumi oleh penguasa dan ulama pada waktu itu sebagai aliran sesat dan karenanya tokoh sufi itu dijatuhi hukuman mati.
Secara umum Islam membagi dua macam ibadah, yaitu: Pertama, ibadah khusus (al ibadah al mahdhah) yang bersifat vertikal dan telah ditentukan macamnya, tata cara dan syarat rukunnya, seperti: shalat, zakat, puasa dan haji. Kedua, ibadah umum (al ibadah al ghair al mahdhah) adalah ibadah yang jenis dan macamnya tidak ditentukan. Ibadah jenis ini umumnya berkaitan dengan segala kegiatan manusia (al muamalah) yang tidak dirinci jenisnya satu persatu. Kitab suci Al-qur’an lebih banyak mengisyaratkan persoalan ibadah yang berkaitan dengan konteks hubungan antar sesama (muamalah) daripada ibadah yang bernuansa ritual. Salah satu jenis ibadah yang banyak dikupas dalam fikih Islam adalah masalah perburuhan.
Al Hallaj merupakan tokoh (Sufi) yang mampu “mengawinkan” konsep ilahiyat yang bersifat vertikal dengan dimensi sosial yang bersifat horizontal/kemanusiaan. Kesufian al Hallaj telah memancarkan cahaya yang terang bagi gerakan pembebasan umat manusia yang mengalami tekanan, kesewenang-wenangan dan ketidak adilan dari umat manusia yang lain.

Keberpihakan Islam terhadap buruh bukan tanpa alasan, sebab buruh merupakan komunitas sosial yang cukup rawan dieksploitir oleh majikan atau pemilik modal. Banyak kasus yang kita jumpai tentang cerita buruh yang mendapat perlakuan tidak adil dari majikannya. Contoh paling aktual adalah kasus Herlina, TKW asal Sidoarjo yang lolos dari hukuman mati di Malaysia. Kini, setelah menjalani proses hukum, dan mendekam di penjara, TKW ini dibebaskan. Dan masih banyak lagi kasus-kasus lain yang berhubungan dengan ketidak-adilan majikan terhadap buruh.
Karena statusnya yang rawan ini, maka Islam jauh-jauh hari telah memberikan pedoman umum tentang konsep perburuhan, agar para pekerja mendapatkan perlakuan yang adil dari majikan maupun penguasa.
Pedoman Islam tercermin dalam al-Qur’an, seperti dikutip dalam surat al Ahqaf:19, yang menguraikan tentang penghargaan, agar majikan memperhatikan para pekerja sesuai kualitas pekerjaannya dengan pendekatan kesejahteraan. Dalam sebuah hadits Nabi Saw, juga dijelaskan agar para majikan harus membayar upah buruh sebelum kering keringatnya.
Uraian di atas merupakan salah satu contoh, betapa Islam benar-benar memperhatikan nasib buruh. Adapun penjelasan secara rinci dapat dibaca dalam hadits maupun kitab-kitab klasik yang secara spesifik menguraikan masalah perburuhan (al Ijarah).Dengan demikian, menstigmakan gerakan buruh dengan kelompok kiri/sosialis menjadi terbantahkan; apalagi jika para pendakwah secara intens dapat menyampaikan misi Islam atas buruh, maka akan semakin menguatkan anggapan bahwa Islam benar-benar memperhatikan nasib kaum pekerja. (Nico Ainul Yakin, Pemimpin Redaksi Tabloid KERJA)

Tidak ada komentar: