Kahlil Gibran (1883-1931), seorang pujangga besar dunia asal Beshari, Lebanon pernah menulis sebuah puisi tentang anak yang melukiskan begitu dalam dan agung akan masa depan anak dalam menatap kehidupan nan keras dan kompetitif. Beshari merupakan daerah yang kerap disinggahi badai, gempa serta petir. Tak heran bila sejak kecil, mata Ghibran sudah terbiasa menangkap fenomena-fenomena alam tersebut. Inilah yang nantinya banyak mempengaruhi tulisan-tulisannya tentang alam.
Pada usia 10 tahun, bersama ibu dan kedua adik perempuannya, Ghibran pindah ke Boston, Amerika Serikat. Tak heran bila kemudian Ghibran kecil mengalami kejutan budaya, seperti yang banyak dialami oleh para imigran lain yang berhamburan datang ke Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Keceriaan Ghibran di bangku sekolah umum di Boston, diisi dengan masa akulturasinya, maka bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi Ghibran hanya berlangsung selama tiga tahun karena setelah itu dia kembali ke Bairut, di mana dia belajar di Madrasah Al-Hikmat (School of Wisdom) sejak tahun 1898 sampai 1901.
Selama awal masa remaja, visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk. Tirani kerajaan Ottoman, sifat munafik organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab.
Ghibran meninggalkan tanah airnya lagi saat ia berusia 19 tahun, namun ingatannya tak pernah bisa lepas dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi inspirasinya. Di Boston dia menulis tentang negerinya itu untuk mengekspresikan dirinya. Ini yang kemudian justru memberinya kebebasan untuk menggabungkan dua pengalaman budayanya yang berbeda menjadi satu.
Pengalamannya dimasa kecil hingga remaja yang sarat tantangan, banyak mengilhami karya-karyanya, yang dalam perkembangannya menjadi itba’ bagi kita semua, terutama karya-karyanya yang bercerita tentang anak dan masa depannya. Sejumlah karya puisinya memberikan inspirasi para orang tua, masyarakat dan pemimpin bangsa agar menaruh perhatian yang kuat terhadap anak, karena mereka adalah mata rantai sejarah dengan sejuta kreasi dan prestasi yang lebih baik dari jaman sebelumnya.
Anak tidak bisa dicetak, tapi dituntun dan diarahkan agar menemukan alamnya sendiri. Juga tidak bisa dikekang dan dipaksa, karena akan merusak jiwanya dan masa depannya. Berikan mereka jalan kehidupan yang lapang agar dapat berjalan dan berlari kencang mengejar peradaban yang lebih maju serta mampu menghiasi kehidupan yang indah dengan lembaran-lembaran karya agung bagi negeri dan bangsanya. Berikan mereka obor, sebagai pelita bagi kegelapan perdaban dunia yang semakin angkara.
Tulisan ini mencoba mengutip salah satu karya Ghibran yang bercerita tentang anak, sebagai bahan pelajaran dan renungan bagi kita semua agar tidak salah dalam memperlakukan anak. “...Anakmu bukanlah milikmu/mereka adalah putra putri sang Hidup/yang rindu akan dirinya sendiri/Mereka lahir lewat engkau/tetapi bukan dari engkau/mereka ada padamu/tetapi bukanlah milikmu/Berikanlah mereka kasih sayangmu/namun jangan sodorkan pemikiranmu/sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri/Patut kau berikan rumah bagi raganya/namun tidak bagi jiwanya/sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan/yang tiada dapat kau kunjungi/sekalipun dalam mimpimu……..”
Sepenggal bait puisi diatas mengandung sejuta makna yang sarat hikmah, terutama para orang tua yang mendambakan anaknya menjadi sang pembebas bagi jamannya kelak; dan bagi masyarakat yang berpimpi terjadinya sebuah pencerahan; juga bagi para pemimpin bangsa yang menginginkan terjadinya regenerasi yang menghargai sejarah dan mampu mengemban amanat umat.
Ghibran dalam puisinya mendedikasikan sang anak agar menemukan jalan hidupnya sendiri tanpa intervensi yang begitu jauh dari orang tuanya, masyarakatnya bahkan para pemimpin bangsanya.
Anak adalah insan yang lemah. Jangan kemudian karena kelemahannya itu, lalu dieksploitasi dengan cara mengekang kehidupannya. Mereka masih membutuhkan bimbingan dan arahan dari orang tuanya dan masyarakatnya akan pendidikan, kesehatan dan sandang pangan yang cukup, agar mereka tumbuh berkembang sebagai anak yang sehat, pintar dan mampu merebut masa depannya saat dewasa kelak. Pembiaran terhadap nasib dan masa depan anak sama dengan pelanggaran hak manusia.
Memproteksi kehidupan anak tidak cukup dengan peraturan dan undang-undang, apalagi peraturan dan undang-undangnya hanya berisi kata-kata retoris. Segudang peraturan dan undang-undang tidak akan merubah keadaan untuk meretas problematika dunia anak, bila tidak dimbangi dengan konsistensi dan penegakan hukum. Program yang menunjuk kepada perlindungan anak, tidak banyak membantu, manakala hanya dijadikan sebagai komuditas politik belaka. Namun, instrument itu tetap penting, sebagai bentuk ichtiar agar anak-anak negeri ini menjadi generasi yang jujur, cerdas, maju dan berkembang membangun kehidupan yang tercerahkan di masa depan.
Dan yang paling penting lagi adalah bagaimana muncul kesadaran massif dari kita semua untuk menempatkan sang anak pada situasi kejiwaan yang mengiringi dinamika batin mereka dan dinamika kehidupan sosialnya dengan instrument moralitas yang kuat. Puisi Ghibran diatas adalah guru bagi kita untuk menjadikan anak sebagai putra-putri sang Hidup yang rindu akan dirinya sendiri. Berikan rumah bagi raganya sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan yang dihiasi cahaya kebenaran dan kejujuran.
Nico Ainul Yakin
Pemimpin Umum/Redaksi Tabloid KERJA
Sabtu, 13 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar