Sabtu, 13 September 2008

Membaca adalah Jendela Dunia

Saat ini masih banyak daerah yang mempunyai tingkat buta aksara tinggi. Di antara daerah yang penyandang buta aksaranya tinggi adalah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, jumlah buta aksara pada awal 2005 sebanyak 14,6 juta atau 9,6 persen. Pada pertengahan tahun 2007, jumlah buta aksara telah menurun menjadi 12,2 juta atau 7,9 persen dan pada Tahun 2009 buta aksara ditargetkan akan turun menjadi di bawah lima persen.
Masih tingginya angka buta aksara di negeri ini telah menyebabkan beragam masalah sosial seperti kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan dan ketidakberdayaan. Akibatnya, posisi tawar mereka pada pergaulan ekonomi dan sosial menjadi sangat rendah. Dengan kata lain penduduk buta aksara belum dapat memberikan kontribusinya secara optimal terhadap berbagai proses pembangunan sosial dan ekonominya.
Negara yang angka buta hurufnya tinggi, pasti akan tertinggal dengan negara lain. Bandingkan angka buta huruf di Malaysia dan Brunai Darussalam jauh dibawah Indonesia. Maka wajar, jika kedua negara tersebut jauh lebih maju dibandingkan Indonesia dalam segala aspeknya, karena masyarakatnya lebih terpelajar. Padahal kedua negara itu, pada dekade tahun 70-an sampai 80-an banyak belajar kepada negeri ini.
Mereka sadar bahwa membaca merupakan cendela bagi terbukanya sebuah peradaban yang lebih maju. Sementara negeri kita, masyarakatnya masih banyak terkungkung dan abai dengan dinamika kehidupan yang berjalan begitu akseleratif (cepat). Padahal dunia adalah kompetitif yang harus dikejar dan dimenangkan.
Contoh, Pada era tahun 60-an sampai 70-an Indonesia merupakan negara yang paling disegani di Asia Tenggara, karena memiliki kemampuan angkatan bersenjata yang tangguh dan kuat dengan militer yang profesional dan persenjataan yang mutakhir. Tapi kini, tinggal masa lalu, karena kita tak pernah berbenah untuk melakukan modernisasi persenjataan dan personil militernya. Sementara negara lain terus menerus meningkatkan kemampuan dan profesional militernya dan persenjataannya.
Pada paruh 80-an, negeri ini juga pernah menjadi negeri pengekspor beras ke negeri tetangga, karena berhasil meningkatkan produksi beras hingga melebihi kebutuhan nasional. Tapi, pada akhir 90-an, tiba-tiba negeri agraris ini berubah menjadi negara pengimpor beras. Ironinya lagi, impor beras itu justru berasal dari negara Singapura yang luasnya sedikit lebih besar dari luas kota Surabaya dan tak memiliki lahan pertanian yang memadahi.
Masih di sekitar tahun 70-an dan 80-an, negeri ini memiliki lembaga pendidikan ternama dengan tenaga pengajar yang sangat berkualitas, sehingga banyak dijadikan rujukan negeri tetangga dan tenaga pengajarnya banyak yang diminta mengajar di luar negeri. Tapi kini, era itu sudah berakhir. Lembaga pendidikan kita jauh tertinggal dengan lembaga pendidikan di Singapura, Malaysia bahkan Brunai. Dan tenaga pengajarnya sudah tidak banyak dipakai di negara tersebut.
Keadaan seperti ini telah berimplikasi pada dimensi lainnya dan semakin melengkapi keterpurukan negeri ini di mata negeri tetangga.
Para TKI/TKW yang bekerja di luar negeri, posisi tawarnya jauh lebih rendah dibandingkan para pekerja migran yang berasal dari negara lain. Penyebabnya tidak ada lain kecuali mutu pekerja kita berada dibawah standart pekerja negara lain. Mutu yang dimaksud disini bukan hanya pada sisi penguasaan akan skill/ketrampilan teknis, tapi juga bahasa dan pengetahuan lainnya.
Dengan posisi yang demikian, akibatnya para TKI/TKW banyak yang standart gajinya dibawah mereka, begitu juga pada tingkat perlakuan individual maupun sosialnya.
Di dalam negeri, potretnya juga tidak jauh berbeda. Para lulusan pendidikan formal, tidak sedikit yang harus menganggur karena kualitasnya kurang mumpuni dan banyak pula yang tidak tahu apa yang harus diperbuat setelah tamat sekolah. Apa yang salah dari negeri ini, padahal tidak ada negara di dunia yang selengkap Indonesia sumberdaya alam dan kekayaannya. Namun, mengapa masih tetap miskin.

Dimulai dari Membaca
Banyak sarjana jebolan perguruan tinggi yang tidak bisa membaca. Tidak sedikit pula orang bergelar, yang juga tidak bisa membaca. Mereka gagap menghadapi kenyataan, dan tidak mampu membaca peluang yang ada di sekelilingnya. Banyak pejabat, politisi dan elit politik lainnya yang tidak bisa membaca bahwa dalam dirinya ada tanggung jawab yang harus dilaksanakan secara akuntabel kepada dirinya, masyarakatnya, negaranya dan Tuhannya.
Membaca bukan hanya mengenal huruf dan angka, tapi harus mampu menyingkap tabir akan misteri dunia dan isinya. Bekerja adalah salah satu tabir dunia yang sesungguhnya bukan sesuatu yang substansi, karena sifatnya bendawi. Yang substansi adalah bagaimana kita mampu membaca keadaan dan peluangnya untuk diproyeksikan sebagai medium dalam meniti karir di dunia kerja yang berimplikasi terhadap dirinya, keluarganya, tetangganya, masyarakat dan bangsanya, negaranya dan Tuhannya.
Siapapun yang mampu membaca keadaan dan peluang yang ada di dalamnya, dengan parameter kemampuan yang dimiliki, mereka akan mampu berdiri tegak dalam situasi dan kondisi apapun.
Oleh karena itu jangan heran, bila mendengar cerita seorang pemulung tiba-tiba menjadi jutawan bahkan milyader; karena mereka telah mampu membaca keadaan dan peluang bahwa gundukan sampah-sampah yang kotor itu, ternyata ada harta karun yang dapat merubah nasibnya, dari miskin menjadi kaya raya, sementara orang lain tak melihatnya.
Juga jangan heran bila mendengar cerita tentang seorang kuli, tiba-tiba menjadi manajer perusahaan yang sukses dengan anak buah yang rata-rata berpendidikan; karena mereka telah mampu membaca keadaan dan peluang bahwa hidup ini tidak stagnan (mandek), melainkan berputar secara dinamis.
Jangan heran bila mendengar cerita seorang awam politik, tiba-tiba menjadi kepala daerah bahkan politisi terkenal; karena mereka mampu membaca keadaan dan peluang bahwa hidup adalah jaringan dan lobying. Dengan kekuatan jaringan yang dimiliki dan kemampuan lobying yang piawai telah mengantarkan dirinya menjadi seorang tokoh yang andal. Dan masih banyak lagi cerita-cerita lain dari seorang sukses.
Indonesia yang pemimpin dan masyarakatnya mampu membaca keadaan dan peluang dengan baik, pasti akan maju, berkembang dan modern, bermartabat serta disegani negara lain. Jika tidak, kita akan tetap menjadi sebuah negeri yang terus terpuruk dan terbelakang meski dengan kekayaan yang melimpah. Kita akan menjadi sebuah negara seperti kata pepatah, “ayam mati di lumbung padi”.
Semuanya, harus diawali dengan membaca. Membaca huruf dan angka, membaca ilmu pengetahuan, membaca diri sendiri, membaca kekurangan dan kelebihan, membaca peradaban, membaca kemajuan negeri lain, dan membaca untuk merebut kejayaan negeri dan bangsanya. Wallahu a’lam bi al shawab.
NICO Ainul Yakin
Pemimpin Umum/Redaksi Tabloid KERJA

Tidak ada komentar: