Sabtu, 13 September 2008

Uang dan Kekuasaan

Sebelum dikenal sistem pemerintahan modern seperti sekarang ini, kekuasaan direbut dengan kekuatan dan kesaktian. Mereka bertarung secara fair dan sportif --- terkadang bertarung sampai mati, sebagai proses seleksi alami untuk menentukan pemimpin dalam sebuah komunitas masyarakat tertentu. Yang berhasil mengalahkan sejumlah orang kuat dan sakti dalam komunitasnya, dialah yang berhak menjadi pemimpin.
Pada jaman monarki kerajaan, kekuasaan diperoleh dengan peperangan. Saat kerajaan itu dikuasai, maka mereka akan memerintah sampai sang raja mangkat. Selanjutnya, kekuasaan kerajaan terus berjalan secara turun temurun seperti harta warisan. Dan hanya dari keluarga kerajaan lah yang berhak melanjutkan tahta kekuasaan raja sebelumnya. Mereka yang menjadi pewaris tahta kerajaan, lazim disebut dengan istilah pangeran atau putra mahkota.
Di jaman modern seperti sekarang ini, dibanyak negara di dunia, kekuasaan itu direbut dengan dukungan masyarakat. Siapa yang paling banyak mendulang suara, dialah yang menjadi pemimpin. Maka siapapun yang ingin berkuasa, harus mempunyai kemampuan menarik simpati dan dukungan masyarakat sebanyak-banyaknya.

***
Pada mulanya, proses demokrasi itu berjalan apa adanya. Mereka memilih calon pemimpinnya berdasar ketulusan dan hati nurani yang dalam, disertai harapan yang sangat kuat kepada calon pemimpinnya untuk merubah keadaan yang buruk kearah yang lebih baik. Maka dipilihlah calon pemimpin yang benar-benar kredibel, kapabel dan akseptebel. Mereka yang terpilih melalui proses yang demikian, bukan hanya sosok pemimpin, namun juga sebagai sosok pembebas yang dapat mengangkat harkat dan martabat masyarakat yang dipimpinnya, dengan segala problematika yang dihadapinya.
Kini keadaan itu telah berubah. Perubahan itu disebabkan karena berbagai alasan. Di antara sekian banyak alasan yang menguat adalah karena persoalan ekonomi. Masyarakat miskin sangat lemah dan rentan serta lebih mudah dipengaruhi dan diarahkan untuk sebuah tujuan tertentu dibandingkan masyarakat yang kuat secara ekonomi. Keadaan semacam ini lazim terjadi, terutama dalam pesta demokrasi untuk menentukan seorang pemimpin, baik ditingkat nasional, regional dan lokal, bahkan memilih pemimpin ditingkat RT/RW sekalipun. Kejadian serupa juga terjadi di sejumlah organisasi seperti: Parpol, ormas, OKP, organisasi profesi, bahkan organisasi keagamaan.
Kefakiran dan kemiskinan lebih dekat dengan kekufuran. Jangankan hanya pemilihan pemimpin, dalam hal beragama pun, tak sedikit yang rela meninggalkan agamanya untuk kepentingan uang dan ekonomi. Ideologinya tidak hanya tergadaikan, namun sudah terjual dengan harga yang sangat murah.
Gejala pragmatisme telah merambah pada setiap sendi kehidupan umat manusia, tak terkecuali simpul-simpul tokoh masyarakat, sepertinya sudah menjadi trend yang lumrah dan bebas nilai. Mereka yang melakukannya tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang ganjil, justru yang tidak melakukan yang dianggap ganjil. Ibarat ada seratus orang, yang sembilan puluh orang gila, sedang yang sepuluh orang lagi, waras; maka yang sepuluh itulah yang dianggap gila. Kegilaan masyarakat terhadap uang benar-benar telah membuat kekuasaan seperti barang dagangan yang diperjual belikan.

***
Dalam logika sederhana, meski tak selamanya benar --- mereka yang memiliki kemampuan finansial kuat, merekalah yang akan terpilih, walau tak memiliki kredibilitas dan kapabilitas mumpuni. Pemimpin yang demikian, pasti tidak jujur dan amanah. Efek dominonya akan lebih parah dan masyarakat akan terus dieksploitasi serta dijadikan obyek kekuasaannya selama memerintah. Asumsinya, kekuasaan yang diperolehnya karena mereka membeli kepada masyarakat yang bebannya harus ditanggung dan dibayar oleh masyarakat saat mereka berkuasa. Situasi semacam ini pasti akan terjadi pada momen pilpres, pilgub, pileg, pilbub, pilwali, sampai pada momen pilkades dan pilihan RT/RW.
Jawa Timur yang beberapa hari lagi, tepatnya pada 23 Juni 2008 akan menggelar pemilihan gubernur-wakil gubernur untuk periode lima tahun ke depan --- meski sulit dibuktikan, tentu akan banyak diwarnai oleh praktek-praktek politik uang (money politic). Modusnya macam-macam, mulai dari yang samar-samar sampai terang-terangan.
Yang samar-samar biasanya diwujudkan dalam bentuk kegiatan sosial, seperti pembagian sembako, pengobatan gratis, pemberian bingkisan dan bantuan berbungkus “sedekah” ke panti-panti sosial, kompetisi berhadiah (uang, motor/mobil, umroh/haji dsb), obral produk bermerk kandidat dan sebagainya. Sementara yang terang-terangan dilakukan secara langsung dalam bentuk bagi-bagi uang pada komunitas masyarakat miskin, tuna wisma, panti jompo, janda-janda renta dan sebagainya.
Para kandidat mendadak menjadi sosok yang ramah, santun dan rajin menyapa masyarakat, rajin silaturrahim kepada kiai, agamawan dan tokoh masyarakat, mengumbar senyum dengan siapapun. Mereka juga tiba-tiba menjadi sosok yang paling bijaksana di dunia, berempati dengan keprihatinan dan penderitaan yang dirasakan masyarakat.
Keadaannya akan berbeda jauh, ketika kandidat itu terpilih menjadi seorang pemimpin. mereka yang dulunya ramah, santun dan rajin berubah menjadi sosok yang pendiam, bengis, dan senyumnya kecut seperti orang yang sedang sakit gigi. Mereka yang dulunya rajin silaturrahim kepada kiai, agamawan dan tokoh masyarakat berubah menjadi orang yang tertutup dan sulit ditemui. Mereka yang dulunya bijaksana, pola pikirnya berubah menjadi “bijaksini” dan sudah tidak ada lagi rasa empati atas keprihatinan dan penderitaan yang dirasakan masyarakat.

***
Dalam hal pemilihan gubernur-wakil gubernur Jatim mendatang, Masyarakat jangan gampang tertipu dengan permainan watak kandidat cagub-cawagub. Bertanyalah kepada nuranimu, dan bila tidak mampu maka bertanyalah kepada Tuhanmu. Jika telah ditemukan jawabnya, maka tentukan pilihanmu. Jangan karena uang anda menipu diri sendiri dan menipu Tuhannya.
Setiap orang normal pasti butuh uang, tapi jangan sampai hatimu terpasung hanya gara-gara uang. Berdirilah tegak dengan kemandirianmu dan nuranimu. Sekali keliru memilih dan menentukan pemimpin, maka setidaknya dalam lima tahun mendatang, nasibmu akan terus dihantui perasaan salah. Na’udzubillah !
NICO Ainul Yakin
Pemimpin umum/redaksi tabloid KERJA

Tidak ada komentar: