Sabtu, 13 September 2008

Menjaga Moralitas Kaum Pekerja

Kaum buruh yang mengadu nasib di kota dan bekerja di sejumlah perusahaan, industri dan lembaga-lembaga ekonomi lainnya, pada umumnya berasal dari desa atau berasal dari kota-kota pinggiran yang corak dan karakteristiknya tidak jauh berbeda dengan masyarakat pedesaan.
Masyarakat desa secara sosiologis memiliki karakteristik dan budaya yang sederhana, santun, rukun dan guyup (gotong royong) dan agamis. Sementara masyarakat kota, ciri umumnya lebih individualis, konsumtif, terbuka dan longgar terhadap sistem nilai yang bersumber kepada agama.
Ciri umum yang kontras antara masyarakat pedesaan dan perkotaan dibentuk oleh lingkungan dan arus budaya yang diserap oleh masyarakat melalui beragam akulturasi dan inkulturasi budaya. Masyarakat kota yang berkembang dan maju serta didukung oleh infra struktur atau sarana dan prasarana yang memadai, lebih cepat menerima pengaruh perubahan dalam berbagai aspeknya. Sebaliknya, masyarakat desa dengan segala keterbatasannya, lebih lambat menerima perubahan.
Jurang pemisah yang begitu menonjol antara kota dan desa, menyebabkan terjadinya urbanisasi besar-besaran dengan beragam motivasinya. Dan di antara motivasi yang paling menonjol adalah karena persoalan ekonomi.
Karena alasan ekonomi tersebut, setiap tahun jumlah masyarakat desa yang “hijrah”, mengadu nasib ke kota mengalami peningkatan yang begitu tajam. Mereka bekerja di berbagai sektor ekonomi baik yang formal maupun sektor informal. Yang formal, pada umumnya bekerja di pabrik-pabrik, perusahaan, industri dan sebagainya. Sedang yang bekerja di sektor informal, umumnya bekerja sebagai kuli-kuli bangunan, pembantu rumah tangga, bahkan ada yang (maaf) menjual diri dan berprofesi sebagai Pekerja Sex Komersial (PSK).
Kita akui, cukup banyak kaum urban yang bernasib baik di kota, namun juga tidak sedikit yang kurang beruntung. Persoalan mendasar bukan pada tingkat etos kerja, namun lebih kepada faktor sumberdaya manusia (SDM) yang sangat terbatas. Rata-rata mereka, berpendidikan rendah dan tidak dibekali dengan kemampuan dan skill yang memadai, akibatnya mereka bekerja sekenanya (serabutan), asal bisa keluar dari himpitan ekonomi dan dapat menikmati ingar-bingarnya alam perkotaan yang jauh berbeda dengan alam pedesaan.

Pergeseran Budaya
Terjadinya pergeseran budaya di masyarakat disebabkan karena beberapa faktor, salah satunya karena proses interaksi sosial antara individu dengan lingkungannya. Interaksi sosial dalam perspektif ini adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, di mana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya.
Menurut Woodworth seperti dikutip WA. Gerungan (1986), pada dasarnya ada empat jenis hubungan antara individu dengan lingkungannya, yaitu (1). Individu dapat bertentangan dengan lingkungannya; (2). Individu dapat menggunakan lingkungannya; (3). individu dapat berpartisipasi (ikut serta) dengan lingkungannya; dan (4). individu dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya.
Dari keempat jenis hubungan antara individu dengan lingkungannya, sangat bergantung kepada seberapa kuat lingkungan sosial tersebut mempengaruhi individu-individu yang ada. Individu yang tidak memiliki imunitas (pertahanan budaya), akan lebih mudah dipengaruhi. Hubungan antara individu yang berinteraksi merupakan hubungan yang bersifat causalitas (sebab-akibat), saling pengaruh yang bersifat timbal balik.
Perubahan perilaku seseorang disebabkan karena beberapa faktor, yaitu : faktor imitasi (meniru); faktor sugesti (pengaruh); faktor indentifikasi (dorongan untuk menjadi sama/identik); dan faktor simpati (tertarik). Perubahan perilaku seseorang tersebut akan melahirkan budaya baru, yang dalam hal tertentu bertolak belakang dengan budaya sebelumnya.
Dalam konteks kaum pekerja, yang hendak kita proteksi adalah moralitas kaum pekerja, terutama pada sisi perilaku, budaya dan moralitas agamanya. Sebab masyarakat urban yang berasal dari pedesaan atau kota-kota pinggiran yang bekerja di kota akan dihadapkan pada situasi dan kondisi yang sama sekali berbeda dengan lingkungan sebelumnya. Mereka yang tidak memiliki imunitas akan lebih cepat mengalami proses pergeseran budaya.
Mereka yang awalnya dibentuk dengan lingkungan sosial yang mendasari kepada semangat kekeluargaan/familiar dan menjunjung tinggi gotong royong, tiba-tiba berubah menjadi individual; Mereka yang asalnya sederhana dan santun, tiba-tiba berubah menjadi konsumtif, “liar” dan pemarah; Mereka yang mulanya agamis, tiba-tiba “melepas” ikatan-ikatan normatif yang berdasarkan agama; dan seterusnya.
Kaum pekerja adalah komunitas yang sangat rentan terhadap perubahan budaya. Mereka harus diproteksi dan dilindungi agar tidak terjebak pada arus budaya perkotaan modern yang permissive (serba boleh). Kesenjangan moralitas dikalangan kaum pekerja akan melahirkan dampak negatif, tidak hanya bagi perusahaan atau pabrik tempat mereka bekerja, namun pada lingkungan sosialnya di masyarakat.
Kaum pekerja tidak boleh larut terhadap lingkungan barunya, tapi harus tetap menjaga integritas dan moralitas budaya sebelumnya yang positif, seperti budaya gotong-royong, sederhana dan hemat, santun serta agamis. Sikap dan budaya seperti ini tidak akan mengurangi eksistensi kaum pekerja yang mengharapkan perubahan nasibnya secara ekonomi.
Menjaga moralitas kaum pekerja, tidak hanya menjadi tugas kaum pekerja, namun perlu keterlibatan pihak perusahaan dan pemerintah juga tokoh-tokoh masyarakat (ulama), melalui berbagai pendekatan. Tugas perusahaan adalah melakukan rekrutmen karyawan yang tidak hanya mendasarkan kepada perspektif skill dan kemampuan calon karyawan, namun juga moralitas karyawannya; tugas pemerintah membuat regulasi yang berbasis kepada perspektif normatif yang bersifat komprehensif dan tidak hanya memperhatikan kesejahteraan lahiriyah namun kebutuhan akan spiritualitas terhadap karyawan; sedang tugas dari tokoh (ulama) adalah menjawab tantangan kemodernan dengan semangat spiritualitas melalui media pendidikan.
Kaum pekerja harus memiliki pimikiran yang jauh ke depan dan mampu menangkap tanda-tanda zaman yang setiap saat mengalami perubahan. Sayyidina Ali ra berkata: “Barangsiapa yang merasa aman menghadapi zaman, maka zaman akan menipunya. Barangsiapa yang merasa tinggi hati menghadapinya, maka zaman akan merendahkannya, dan barangsiapa yang mampu menangkap tanda-tanda zaman, maka zaman akan menyelamatkannya”.@
NICO Ainul Yakin
Pemimpin Umum/Redaksi Tabloid KERJA

Tidak ada komentar: