Saat ini masih banyak daerah yang mempunyai tingkat buta aksara tinggi. Di antara daerah yang penyandang buta aksaranya tinggi adalah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, jumlah buta aksara pada awal 2005 sebanyak 14,6 juta atau 9,6 persen. Pada pertengahan tahun 2007, jumlah buta aksara telah menurun menjadi 12,2 juta atau 7,9 persen dan pada Tahun 2009 buta aksara ditargetkan akan turun menjadi di bawah lima persen.
Masih tingginya angka buta aksara di negeri ini telah menyebabkan beragam masalah sosial seperti kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan dan ketidakberdayaan. Akibatnya, posisi tawar mereka pada pergaulan ekonomi dan sosial menjadi sangat rendah. Dengan kata lain penduduk buta aksara belum dapat memberikan kontribusinya secara optimal terhadap berbagai proses pembangunan sosial dan ekonominya.
Negara yang angka buta hurufnya tinggi, pasti akan tertinggal dengan negara lain. Bandingkan angka buta huruf di Malaysia dan Brunai Darussalam jauh dibawah Indonesia. Maka wajar, jika kedua negara tersebut jauh lebih maju dibandingkan Indonesia dalam segala aspeknya, karena masyarakatnya lebih terpelajar. Padahal kedua negara itu, pada dekade tahun 70-an sampai 80-an banyak belajar kepada negeri ini.
Mereka sadar bahwa membaca merupakan cendela bagi terbukanya sebuah peradaban yang lebih maju. Sementara negeri kita, masyarakatnya masih banyak terkungkung dan abai dengan dinamika kehidupan yang berjalan begitu akseleratif (cepat). Padahal dunia adalah kompetitif yang harus dikejar dan dimenangkan.
Contoh, Pada era tahun 60-an sampai 70-an Indonesia merupakan negara yang paling disegani di Asia Tenggara, karena memiliki kemampuan angkatan bersenjata yang tangguh dan kuat dengan militer yang profesional dan persenjataan yang mutakhir. Tapi kini, tinggal masa lalu, karena kita tak pernah berbenah untuk melakukan modernisasi persenjataan dan personil militernya. Sementara negara lain terus menerus meningkatkan kemampuan dan profesional militernya dan persenjataannya.
Pada paruh 80-an, negeri ini juga pernah menjadi negeri pengekspor beras ke negeri tetangga, karena berhasil meningkatkan produksi beras hingga melebihi kebutuhan nasional. Tapi, pada akhir 90-an, tiba-tiba negeri agraris ini berubah menjadi negara pengimpor beras. Ironinya lagi, impor beras itu justru berasal dari negara Singapura yang luasnya sedikit lebih besar dari luas kota Surabaya dan tak memiliki lahan pertanian yang memadahi.
Masih di sekitar tahun 70-an dan 80-an, negeri ini memiliki lembaga pendidikan ternama dengan tenaga pengajar yang sangat berkualitas, sehingga banyak dijadikan rujukan negeri tetangga dan tenaga pengajarnya banyak yang diminta mengajar di luar negeri. Tapi kini, era itu sudah berakhir. Lembaga pendidikan kita jauh tertinggal dengan lembaga pendidikan di Singapura, Malaysia bahkan Brunai. Dan tenaga pengajarnya sudah tidak banyak dipakai di negara tersebut.
Keadaan seperti ini telah berimplikasi pada dimensi lainnya dan semakin melengkapi keterpurukan negeri ini di mata negeri tetangga.
Para TKI/TKW yang bekerja di luar negeri, posisi tawarnya jauh lebih rendah dibandingkan para pekerja migran yang berasal dari negara lain. Penyebabnya tidak ada lain kecuali mutu pekerja kita berada dibawah standart pekerja negara lain. Mutu yang dimaksud disini bukan hanya pada sisi penguasaan akan skill/ketrampilan teknis, tapi juga bahasa dan pengetahuan lainnya.
Dengan posisi yang demikian, akibatnya para TKI/TKW banyak yang standart gajinya dibawah mereka, begitu juga pada tingkat perlakuan individual maupun sosialnya.
Di dalam negeri, potretnya juga tidak jauh berbeda. Para lulusan pendidikan formal, tidak sedikit yang harus menganggur karena kualitasnya kurang mumpuni dan banyak pula yang tidak tahu apa yang harus diperbuat setelah tamat sekolah. Apa yang salah dari negeri ini, padahal tidak ada negara di dunia yang selengkap Indonesia sumberdaya alam dan kekayaannya. Namun, mengapa masih tetap miskin.
Dimulai dari Membaca
Banyak sarjana jebolan perguruan tinggi yang tidak bisa membaca. Tidak sedikit pula orang bergelar, yang juga tidak bisa membaca. Mereka gagap menghadapi kenyataan, dan tidak mampu membaca peluang yang ada di sekelilingnya. Banyak pejabat, politisi dan elit politik lainnya yang tidak bisa membaca bahwa dalam dirinya ada tanggung jawab yang harus dilaksanakan secara akuntabel kepada dirinya, masyarakatnya, negaranya dan Tuhannya.
Membaca bukan hanya mengenal huruf dan angka, tapi harus mampu menyingkap tabir akan misteri dunia dan isinya. Bekerja adalah salah satu tabir dunia yang sesungguhnya bukan sesuatu yang substansi, karena sifatnya bendawi. Yang substansi adalah bagaimana kita mampu membaca keadaan dan peluangnya untuk diproyeksikan sebagai medium dalam meniti karir di dunia kerja yang berimplikasi terhadap dirinya, keluarganya, tetangganya, masyarakat dan bangsanya, negaranya dan Tuhannya.
Siapapun yang mampu membaca keadaan dan peluang yang ada di dalamnya, dengan parameter kemampuan yang dimiliki, mereka akan mampu berdiri tegak dalam situasi dan kondisi apapun.
Oleh karena itu jangan heran, bila mendengar cerita seorang pemulung tiba-tiba menjadi jutawan bahkan milyader; karena mereka telah mampu membaca keadaan dan peluang bahwa gundukan sampah-sampah yang kotor itu, ternyata ada harta karun yang dapat merubah nasibnya, dari miskin menjadi kaya raya, sementara orang lain tak melihatnya.
Juga jangan heran bila mendengar cerita tentang seorang kuli, tiba-tiba menjadi manajer perusahaan yang sukses dengan anak buah yang rata-rata berpendidikan; karena mereka telah mampu membaca keadaan dan peluang bahwa hidup ini tidak stagnan (mandek), melainkan berputar secara dinamis.
Jangan heran bila mendengar cerita seorang awam politik, tiba-tiba menjadi kepala daerah bahkan politisi terkenal; karena mereka mampu membaca keadaan dan peluang bahwa hidup adalah jaringan dan lobying. Dengan kekuatan jaringan yang dimiliki dan kemampuan lobying yang piawai telah mengantarkan dirinya menjadi seorang tokoh yang andal. Dan masih banyak lagi cerita-cerita lain dari seorang sukses.
Indonesia yang pemimpin dan masyarakatnya mampu membaca keadaan dan peluang dengan baik, pasti akan maju, berkembang dan modern, bermartabat serta disegani negara lain. Jika tidak, kita akan tetap menjadi sebuah negeri yang terus terpuruk dan terbelakang meski dengan kekayaan yang melimpah. Kita akan menjadi sebuah negara seperti kata pepatah, “ayam mati di lumbung padi”.
Semuanya, harus diawali dengan membaca. Membaca huruf dan angka, membaca ilmu pengetahuan, membaca diri sendiri, membaca kekurangan dan kelebihan, membaca peradaban, membaca kemajuan negeri lain, dan membaca untuk merebut kejayaan negeri dan bangsanya. Wallahu a’lam bi al shawab.
NICO Ainul Yakin
Pemimpin Umum/Redaksi Tabloid KERJA
Sabtu, 13 September 2008
MEMAKNAI SE-ABAD HARI KEBANGKITAN NASIONAL
Tidak terasa, perhimpunan nasional Boedi Oetomo yang didirikan pada 20 Mei 1908 sudah seabad usianya. Tanggal berdirinya Boedi Oetomo yang diabadikan sebagai hari kebangkitan nasional ini merupakan organisasi yang bertujuan memajukan nusa dan bangsa serta mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa yang lebih terhormat.
Ada tiga variabel yang tersirat dalam tujuan berdirinya Boedi Oetomo, yakni : pertama, bagaimana nusa dan bangsa ini dimajukan; kedua, bagaimana cita-cita kemanusiaan dimerdekakan; dan ketiga, bagaimana kehidupan bangsa ini terhormat dan bermartabat, terutama dimata dunia internasional.
Ketiga variabel di atas merupakan substansi nilai dari makna kebangkitan nasional yang secara regenerasi harus dipertahankan dan diaktualisasikan dalam kerangka yang dinamis sesuai konteks jamannya. Ini berarti bahwa kita sebagai anak bangsa harus senantiasa melakukan redefinisi dan revitalisasi atas makna kebangkitan secara visioner dan futuristik agar pembangunan bangsa tak berjalan ditempat, namun melangkah lebih jauh mengejar ketertinggalan dan keterbelakangan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Makna Kebangkitan
Pada jaman revolusi, makna kebangkitan nasional dimanifestasikan dalam konsep dan cita-cita yang sama untuk bangkit melawan hegemoni bangsa penjajah. Saat kemerdekaan diraih, kebangkitan nasional diwujudkan dalam pembangunan. Ketika pembangunan berjalan, kebangkitan nasional (mestinya) harus mencerminkan kesejahteraan rakyatnya. Rakyat yang sejahtera, negara yang maju, adil, berkembang dan modern merupakan substansi nilai dari cita-cita kebangkitan nasional yang hendak diraih.
Ironisnya, setelah satu abad kebangkitan nasional berlangsung, keadaan bangsa ini masih belum beranjak dan bangkit dari tidurnya untuk menatap masa depan yang lebih baik. Bahkan semakin dililit oleh berbagai persoalan yang tak kunjung usai. Sementara negeri tetangga yang dulu banyak belajar di negeri ini, semakin melesat jauh meninggalkan kita. Lalu, apa yang salah dengan negeri ini?
Waktu se-abad bukan masa yang pendek. Jika kita mau belajar konsisten dan sungguh-sungguh, negeri yang dianugerahi Tuhan berlimpah kekayaan dan kearifan aneka ragam budaya bangsa yang mulia dan agung, maka bangsa Indonesia bukan hanya bangkit tapi akan mampu menjadi negara raksasa yang disegani dunia internasional.
Bangkit dari ketertinggalan dalam segala hal dari bangsa lain. Bangkit bukan sekadar melepaskan diri dari belenggu penjajah yang selama berabad-abad menghisap nusa dan bangsa Indonesia. Tetapi bangkit untuk mensejahterakan rakyatnya, memanusiakan seluruh elemen masyarakat yang ada dalam Negara Indonesia. Bukankah kita sudah mempunyai modal dasar yang besar untuk meraih segala impian itu?
Momen seabad kebangkitan nasional saat ini harus dijadikan sebagai entry point untuk melakukan redefinisi dan reaktualisasi akan makna kebangkitan nasional melalui pendekatan yang menyeluruh. Di bidang pendidikan dan peningkatan SDM hendaknya menjadi prioritas bangsa untuk bangkit menghadapi kebodohan. Caranya, pemerintah harus memberikan kesempatan yang tak diskriminatif kepada seluruh anak bangsa untuk mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi dengan biaya murah tanpa mengabaikan kualitas, agar lahir anak bangsa yang berkualitas pula.
Bangsa yang cerdas dan berbudi pekerti luhur, akan mampu menjawab tantangan yang dihadapinya. Mereka akan mampu mengelola ekonomi yang dapat mensejahterakan rakyatnya; mereka juga akan dapat melindungi rakyatnya dari segala macam bentuk tekanan; mereka akan harmoni dan tetap bersatu dengan keberagaman.
Dengan kearifan berfikir, sesungguhnya makna kebangkitan tadii masih belum sepenuhnya merasuk ke hati sanubari bangsa Indonesia. Bangkit masih diartikan sempit, yakni sudah terbebas dari penjajah. Padahal, dalam arti yang luas, bangkit ini merupakan satu semangat untuk bisa berbenah diri, yang selanjutnya bisa mencapai apa yang diimpikan yakni kesejahteraan lahir batin bagi bangsa Indonesia.
Tentu makna kebangkitan ini akan bergeser mengikuti gerak maju jaman. Boedi Oetomo adalah spirit sekaligus inspirasi yang harus diartikan dan diterjemahkan dalam tindakan nyata setiap gerak langkah bangsa Indonesia.
Bangkit untuk kesejahteraan bangsa Indonesia secara bersama-sama. Bukan bangkit untuk mensejahterakan segelintir orang atau golongan. Bukan bangkit untuk mendewakan satu suku, golongan atau agama tertentu melainkan bangkit untuk lebih memanusiakan semua elemen bangsa Indonesia.
Seluruh elemen bangsa harus bisa bangkit membasmi penghisapan oleh satu golongan tertentu atas golongan lainnya. Bangkit sesuai fitrah dan karakter bangsa Indonesia. Bukan bangkit yang membabi buta terlebih menjurus ke anarkis! Melainkan bangkit dengan membawa karakter profesinya. Bekerja lebih giat, belajar lebih tekun, berkarya lebih berarti serta mengabdi lebih tulus, ini mungkin lebih manusiawi dan bermartabat!
Tentu saja kita berharap makna kebangkitan nasional bukan sekadar manis di bibir atau enak didengar sebagai jargon semata. Tapi lebih pada tindakan nyata dari makna bangkit itu sendiri. Bangkit yang lebih universal yakni bangkit melawan ketidakadilan, bangkit menentang kesewenang-wenangan, bangkit mengejar ketertinggalan dari bangsa lain dalam berbagai bidang kemahslahatan umat. Mungkin ini makna kebangkitan nasional yang ada dalam benak serta keinginan luhur para pendiri negara ini.
NICO ainul yakin
Pemimpin Umum/Redaksi
Ada tiga variabel yang tersirat dalam tujuan berdirinya Boedi Oetomo, yakni : pertama, bagaimana nusa dan bangsa ini dimajukan; kedua, bagaimana cita-cita kemanusiaan dimerdekakan; dan ketiga, bagaimana kehidupan bangsa ini terhormat dan bermartabat, terutama dimata dunia internasional.
Ketiga variabel di atas merupakan substansi nilai dari makna kebangkitan nasional yang secara regenerasi harus dipertahankan dan diaktualisasikan dalam kerangka yang dinamis sesuai konteks jamannya. Ini berarti bahwa kita sebagai anak bangsa harus senantiasa melakukan redefinisi dan revitalisasi atas makna kebangkitan secara visioner dan futuristik agar pembangunan bangsa tak berjalan ditempat, namun melangkah lebih jauh mengejar ketertinggalan dan keterbelakangan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Makna Kebangkitan
Pada jaman revolusi, makna kebangkitan nasional dimanifestasikan dalam konsep dan cita-cita yang sama untuk bangkit melawan hegemoni bangsa penjajah. Saat kemerdekaan diraih, kebangkitan nasional diwujudkan dalam pembangunan. Ketika pembangunan berjalan, kebangkitan nasional (mestinya) harus mencerminkan kesejahteraan rakyatnya. Rakyat yang sejahtera, negara yang maju, adil, berkembang dan modern merupakan substansi nilai dari cita-cita kebangkitan nasional yang hendak diraih.
Ironisnya, setelah satu abad kebangkitan nasional berlangsung, keadaan bangsa ini masih belum beranjak dan bangkit dari tidurnya untuk menatap masa depan yang lebih baik. Bahkan semakin dililit oleh berbagai persoalan yang tak kunjung usai. Sementara negeri tetangga yang dulu banyak belajar di negeri ini, semakin melesat jauh meninggalkan kita. Lalu, apa yang salah dengan negeri ini?
Waktu se-abad bukan masa yang pendek. Jika kita mau belajar konsisten dan sungguh-sungguh, negeri yang dianugerahi Tuhan berlimpah kekayaan dan kearifan aneka ragam budaya bangsa yang mulia dan agung, maka bangsa Indonesia bukan hanya bangkit tapi akan mampu menjadi negara raksasa yang disegani dunia internasional.
Bangkit dari ketertinggalan dalam segala hal dari bangsa lain. Bangkit bukan sekadar melepaskan diri dari belenggu penjajah yang selama berabad-abad menghisap nusa dan bangsa Indonesia. Tetapi bangkit untuk mensejahterakan rakyatnya, memanusiakan seluruh elemen masyarakat yang ada dalam Negara Indonesia. Bukankah kita sudah mempunyai modal dasar yang besar untuk meraih segala impian itu?
Momen seabad kebangkitan nasional saat ini harus dijadikan sebagai entry point untuk melakukan redefinisi dan reaktualisasi akan makna kebangkitan nasional melalui pendekatan yang menyeluruh. Di bidang pendidikan dan peningkatan SDM hendaknya menjadi prioritas bangsa untuk bangkit menghadapi kebodohan. Caranya, pemerintah harus memberikan kesempatan yang tak diskriminatif kepada seluruh anak bangsa untuk mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi dengan biaya murah tanpa mengabaikan kualitas, agar lahir anak bangsa yang berkualitas pula.
Bangsa yang cerdas dan berbudi pekerti luhur, akan mampu menjawab tantangan yang dihadapinya. Mereka akan mampu mengelola ekonomi yang dapat mensejahterakan rakyatnya; mereka juga akan dapat melindungi rakyatnya dari segala macam bentuk tekanan; mereka akan harmoni dan tetap bersatu dengan keberagaman.
Dengan kearifan berfikir, sesungguhnya makna kebangkitan tadii masih belum sepenuhnya merasuk ke hati sanubari bangsa Indonesia. Bangkit masih diartikan sempit, yakni sudah terbebas dari penjajah. Padahal, dalam arti yang luas, bangkit ini merupakan satu semangat untuk bisa berbenah diri, yang selanjutnya bisa mencapai apa yang diimpikan yakni kesejahteraan lahir batin bagi bangsa Indonesia.
Tentu makna kebangkitan ini akan bergeser mengikuti gerak maju jaman. Boedi Oetomo adalah spirit sekaligus inspirasi yang harus diartikan dan diterjemahkan dalam tindakan nyata setiap gerak langkah bangsa Indonesia.
Bangkit untuk kesejahteraan bangsa Indonesia secara bersama-sama. Bukan bangkit untuk mensejahterakan segelintir orang atau golongan. Bukan bangkit untuk mendewakan satu suku, golongan atau agama tertentu melainkan bangkit untuk lebih memanusiakan semua elemen bangsa Indonesia.
Seluruh elemen bangsa harus bisa bangkit membasmi penghisapan oleh satu golongan tertentu atas golongan lainnya. Bangkit sesuai fitrah dan karakter bangsa Indonesia. Bukan bangkit yang membabi buta terlebih menjurus ke anarkis! Melainkan bangkit dengan membawa karakter profesinya. Bekerja lebih giat, belajar lebih tekun, berkarya lebih berarti serta mengabdi lebih tulus, ini mungkin lebih manusiawi dan bermartabat!
Tentu saja kita berharap makna kebangkitan nasional bukan sekadar manis di bibir atau enak didengar sebagai jargon semata. Tapi lebih pada tindakan nyata dari makna bangkit itu sendiri. Bangkit yang lebih universal yakni bangkit melawan ketidakadilan, bangkit menentang kesewenang-wenangan, bangkit mengejar ketertinggalan dari bangsa lain dalam berbagai bidang kemahslahatan umat. Mungkin ini makna kebangkitan nasional yang ada dalam benak serta keinginan luhur para pendiri negara ini.
NICO ainul yakin
Pemimpin Umum/Redaksi
Menjaga Moralitas Kaum Pekerja
Kaum buruh yang mengadu nasib di kota dan bekerja di sejumlah perusahaan, industri dan lembaga-lembaga ekonomi lainnya, pada umumnya berasal dari desa atau berasal dari kota-kota pinggiran yang corak dan karakteristiknya tidak jauh berbeda dengan masyarakat pedesaan.
Masyarakat desa secara sosiologis memiliki karakteristik dan budaya yang sederhana, santun, rukun dan guyup (gotong royong) dan agamis. Sementara masyarakat kota, ciri umumnya lebih individualis, konsumtif, terbuka dan longgar terhadap sistem nilai yang bersumber kepada agama.
Ciri umum yang kontras antara masyarakat pedesaan dan perkotaan dibentuk oleh lingkungan dan arus budaya yang diserap oleh masyarakat melalui beragam akulturasi dan inkulturasi budaya. Masyarakat kota yang berkembang dan maju serta didukung oleh infra struktur atau sarana dan prasarana yang memadai, lebih cepat menerima pengaruh perubahan dalam berbagai aspeknya. Sebaliknya, masyarakat desa dengan segala keterbatasannya, lebih lambat menerima perubahan.
Jurang pemisah yang begitu menonjol antara kota dan desa, menyebabkan terjadinya urbanisasi besar-besaran dengan beragam motivasinya. Dan di antara motivasi yang paling menonjol adalah karena persoalan ekonomi.
Karena alasan ekonomi tersebut, setiap tahun jumlah masyarakat desa yang “hijrah”, mengadu nasib ke kota mengalami peningkatan yang begitu tajam. Mereka bekerja di berbagai sektor ekonomi baik yang formal maupun sektor informal. Yang formal, pada umumnya bekerja di pabrik-pabrik, perusahaan, industri dan sebagainya. Sedang yang bekerja di sektor informal, umumnya bekerja sebagai kuli-kuli bangunan, pembantu rumah tangga, bahkan ada yang (maaf) menjual diri dan berprofesi sebagai Pekerja Sex Komersial (PSK).
Kita akui, cukup banyak kaum urban yang bernasib baik di kota, namun juga tidak sedikit yang kurang beruntung. Persoalan mendasar bukan pada tingkat etos kerja, namun lebih kepada faktor sumberdaya manusia (SDM) yang sangat terbatas. Rata-rata mereka, berpendidikan rendah dan tidak dibekali dengan kemampuan dan skill yang memadai, akibatnya mereka bekerja sekenanya (serabutan), asal bisa keluar dari himpitan ekonomi dan dapat menikmati ingar-bingarnya alam perkotaan yang jauh berbeda dengan alam pedesaan.
Pergeseran Budaya
Terjadinya pergeseran budaya di masyarakat disebabkan karena beberapa faktor, salah satunya karena proses interaksi sosial antara individu dengan lingkungannya. Interaksi sosial dalam perspektif ini adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, di mana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya.
Menurut Woodworth seperti dikutip WA. Gerungan (1986), pada dasarnya ada empat jenis hubungan antara individu dengan lingkungannya, yaitu (1). Individu dapat bertentangan dengan lingkungannya; (2). Individu dapat menggunakan lingkungannya; (3). individu dapat berpartisipasi (ikut serta) dengan lingkungannya; dan (4). individu dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya.
Dari keempat jenis hubungan antara individu dengan lingkungannya, sangat bergantung kepada seberapa kuat lingkungan sosial tersebut mempengaruhi individu-individu yang ada. Individu yang tidak memiliki imunitas (pertahanan budaya), akan lebih mudah dipengaruhi. Hubungan antara individu yang berinteraksi merupakan hubungan yang bersifat causalitas (sebab-akibat), saling pengaruh yang bersifat timbal balik.
Perubahan perilaku seseorang disebabkan karena beberapa faktor, yaitu : faktor imitasi (meniru); faktor sugesti (pengaruh); faktor indentifikasi (dorongan untuk menjadi sama/identik); dan faktor simpati (tertarik). Perubahan perilaku seseorang tersebut akan melahirkan budaya baru, yang dalam hal tertentu bertolak belakang dengan budaya sebelumnya.
Dalam konteks kaum pekerja, yang hendak kita proteksi adalah moralitas kaum pekerja, terutama pada sisi perilaku, budaya dan moralitas agamanya. Sebab masyarakat urban yang berasal dari pedesaan atau kota-kota pinggiran yang bekerja di kota akan dihadapkan pada situasi dan kondisi yang sama sekali berbeda dengan lingkungan sebelumnya. Mereka yang tidak memiliki imunitas akan lebih cepat mengalami proses pergeseran budaya.
Mereka yang awalnya dibentuk dengan lingkungan sosial yang mendasari kepada semangat kekeluargaan/familiar dan menjunjung tinggi gotong royong, tiba-tiba berubah menjadi individual; Mereka yang asalnya sederhana dan santun, tiba-tiba berubah menjadi konsumtif, “liar” dan pemarah; Mereka yang mulanya agamis, tiba-tiba “melepas” ikatan-ikatan normatif yang berdasarkan agama; dan seterusnya.
Kaum pekerja adalah komunitas yang sangat rentan terhadap perubahan budaya. Mereka harus diproteksi dan dilindungi agar tidak terjebak pada arus budaya perkotaan modern yang permissive (serba boleh). Kesenjangan moralitas dikalangan kaum pekerja akan melahirkan dampak negatif, tidak hanya bagi perusahaan atau pabrik tempat mereka bekerja, namun pada lingkungan sosialnya di masyarakat.
Kaum pekerja tidak boleh larut terhadap lingkungan barunya, tapi harus tetap menjaga integritas dan moralitas budaya sebelumnya yang positif, seperti budaya gotong-royong, sederhana dan hemat, santun serta agamis. Sikap dan budaya seperti ini tidak akan mengurangi eksistensi kaum pekerja yang mengharapkan perubahan nasibnya secara ekonomi.
Menjaga moralitas kaum pekerja, tidak hanya menjadi tugas kaum pekerja, namun perlu keterlibatan pihak perusahaan dan pemerintah juga tokoh-tokoh masyarakat (ulama), melalui berbagai pendekatan. Tugas perusahaan adalah melakukan rekrutmen karyawan yang tidak hanya mendasarkan kepada perspektif skill dan kemampuan calon karyawan, namun juga moralitas karyawannya; tugas pemerintah membuat regulasi yang berbasis kepada perspektif normatif yang bersifat komprehensif dan tidak hanya memperhatikan kesejahteraan lahiriyah namun kebutuhan akan spiritualitas terhadap karyawan; sedang tugas dari tokoh (ulama) adalah menjawab tantangan kemodernan dengan semangat spiritualitas melalui media pendidikan.
Kaum pekerja harus memiliki pimikiran yang jauh ke depan dan mampu menangkap tanda-tanda zaman yang setiap saat mengalami perubahan. Sayyidina Ali ra berkata: “Barangsiapa yang merasa aman menghadapi zaman, maka zaman akan menipunya. Barangsiapa yang merasa tinggi hati menghadapinya, maka zaman akan merendahkannya, dan barangsiapa yang mampu menangkap tanda-tanda zaman, maka zaman akan menyelamatkannya”.@
NICO Ainul Yakin
Pemimpin Umum/Redaksi Tabloid KERJA
Masyarakat desa secara sosiologis memiliki karakteristik dan budaya yang sederhana, santun, rukun dan guyup (gotong royong) dan agamis. Sementara masyarakat kota, ciri umumnya lebih individualis, konsumtif, terbuka dan longgar terhadap sistem nilai yang bersumber kepada agama.
Ciri umum yang kontras antara masyarakat pedesaan dan perkotaan dibentuk oleh lingkungan dan arus budaya yang diserap oleh masyarakat melalui beragam akulturasi dan inkulturasi budaya. Masyarakat kota yang berkembang dan maju serta didukung oleh infra struktur atau sarana dan prasarana yang memadai, lebih cepat menerima pengaruh perubahan dalam berbagai aspeknya. Sebaliknya, masyarakat desa dengan segala keterbatasannya, lebih lambat menerima perubahan.
Jurang pemisah yang begitu menonjol antara kota dan desa, menyebabkan terjadinya urbanisasi besar-besaran dengan beragam motivasinya. Dan di antara motivasi yang paling menonjol adalah karena persoalan ekonomi.
Karena alasan ekonomi tersebut, setiap tahun jumlah masyarakat desa yang “hijrah”, mengadu nasib ke kota mengalami peningkatan yang begitu tajam. Mereka bekerja di berbagai sektor ekonomi baik yang formal maupun sektor informal. Yang formal, pada umumnya bekerja di pabrik-pabrik, perusahaan, industri dan sebagainya. Sedang yang bekerja di sektor informal, umumnya bekerja sebagai kuli-kuli bangunan, pembantu rumah tangga, bahkan ada yang (maaf) menjual diri dan berprofesi sebagai Pekerja Sex Komersial (PSK).
Kita akui, cukup banyak kaum urban yang bernasib baik di kota, namun juga tidak sedikit yang kurang beruntung. Persoalan mendasar bukan pada tingkat etos kerja, namun lebih kepada faktor sumberdaya manusia (SDM) yang sangat terbatas. Rata-rata mereka, berpendidikan rendah dan tidak dibekali dengan kemampuan dan skill yang memadai, akibatnya mereka bekerja sekenanya (serabutan), asal bisa keluar dari himpitan ekonomi dan dapat menikmati ingar-bingarnya alam perkotaan yang jauh berbeda dengan alam pedesaan.
Pergeseran Budaya
Terjadinya pergeseran budaya di masyarakat disebabkan karena beberapa faktor, salah satunya karena proses interaksi sosial antara individu dengan lingkungannya. Interaksi sosial dalam perspektif ini adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, di mana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya.
Menurut Woodworth seperti dikutip WA. Gerungan (1986), pada dasarnya ada empat jenis hubungan antara individu dengan lingkungannya, yaitu (1). Individu dapat bertentangan dengan lingkungannya; (2). Individu dapat menggunakan lingkungannya; (3). individu dapat berpartisipasi (ikut serta) dengan lingkungannya; dan (4). individu dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya.
Dari keempat jenis hubungan antara individu dengan lingkungannya, sangat bergantung kepada seberapa kuat lingkungan sosial tersebut mempengaruhi individu-individu yang ada. Individu yang tidak memiliki imunitas (pertahanan budaya), akan lebih mudah dipengaruhi. Hubungan antara individu yang berinteraksi merupakan hubungan yang bersifat causalitas (sebab-akibat), saling pengaruh yang bersifat timbal balik.
Perubahan perilaku seseorang disebabkan karena beberapa faktor, yaitu : faktor imitasi (meniru); faktor sugesti (pengaruh); faktor indentifikasi (dorongan untuk menjadi sama/identik); dan faktor simpati (tertarik). Perubahan perilaku seseorang tersebut akan melahirkan budaya baru, yang dalam hal tertentu bertolak belakang dengan budaya sebelumnya.
Dalam konteks kaum pekerja, yang hendak kita proteksi adalah moralitas kaum pekerja, terutama pada sisi perilaku, budaya dan moralitas agamanya. Sebab masyarakat urban yang berasal dari pedesaan atau kota-kota pinggiran yang bekerja di kota akan dihadapkan pada situasi dan kondisi yang sama sekali berbeda dengan lingkungan sebelumnya. Mereka yang tidak memiliki imunitas akan lebih cepat mengalami proses pergeseran budaya.
Mereka yang awalnya dibentuk dengan lingkungan sosial yang mendasari kepada semangat kekeluargaan/familiar dan menjunjung tinggi gotong royong, tiba-tiba berubah menjadi individual; Mereka yang asalnya sederhana dan santun, tiba-tiba berubah menjadi konsumtif, “liar” dan pemarah; Mereka yang mulanya agamis, tiba-tiba “melepas” ikatan-ikatan normatif yang berdasarkan agama; dan seterusnya.
Kaum pekerja adalah komunitas yang sangat rentan terhadap perubahan budaya. Mereka harus diproteksi dan dilindungi agar tidak terjebak pada arus budaya perkotaan modern yang permissive (serba boleh). Kesenjangan moralitas dikalangan kaum pekerja akan melahirkan dampak negatif, tidak hanya bagi perusahaan atau pabrik tempat mereka bekerja, namun pada lingkungan sosialnya di masyarakat.
Kaum pekerja tidak boleh larut terhadap lingkungan barunya, tapi harus tetap menjaga integritas dan moralitas budaya sebelumnya yang positif, seperti budaya gotong-royong, sederhana dan hemat, santun serta agamis. Sikap dan budaya seperti ini tidak akan mengurangi eksistensi kaum pekerja yang mengharapkan perubahan nasibnya secara ekonomi.
Menjaga moralitas kaum pekerja, tidak hanya menjadi tugas kaum pekerja, namun perlu keterlibatan pihak perusahaan dan pemerintah juga tokoh-tokoh masyarakat (ulama), melalui berbagai pendekatan. Tugas perusahaan adalah melakukan rekrutmen karyawan yang tidak hanya mendasarkan kepada perspektif skill dan kemampuan calon karyawan, namun juga moralitas karyawannya; tugas pemerintah membuat regulasi yang berbasis kepada perspektif normatif yang bersifat komprehensif dan tidak hanya memperhatikan kesejahteraan lahiriyah namun kebutuhan akan spiritualitas terhadap karyawan; sedang tugas dari tokoh (ulama) adalah menjawab tantangan kemodernan dengan semangat spiritualitas melalui media pendidikan.
Kaum pekerja harus memiliki pimikiran yang jauh ke depan dan mampu menangkap tanda-tanda zaman yang setiap saat mengalami perubahan. Sayyidina Ali ra berkata: “Barangsiapa yang merasa aman menghadapi zaman, maka zaman akan menipunya. Barangsiapa yang merasa tinggi hati menghadapinya, maka zaman akan merendahkannya, dan barangsiapa yang mampu menangkap tanda-tanda zaman, maka zaman akan menyelamatkannya”.@
NICO Ainul Yakin
Pemimpin Umum/Redaksi Tabloid KERJA
KEBERPIHAKAN ISLAM TERHADAP BURUH

Oleh : Nico Ainul Yakin
Sejauh ini gerakan buruh dimanapun, (hampir) selalu dipersepsikan sebagai gerakan kiri yang bercorak sosialis. Persepsi itu ada benarnya, apabila dikaitkan dengan peristiwa Haymarket, 1 Mei 1886, di mana sekitar 400 ribu buruh di Amerika Serikat mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja mereka menjadi 8 jam sehari --- yang dibalas dengan tindakan represif aparat kepolisian setempat dengan cara menembaki para demonstran, menangkap dan menghukum mati para pemimpinnya.
Peristiwa Haymarket tersebut telah menjadi inspirasi bagi kaum buruh di sejumlah negara di Eropa dan Amerika untuk membangun solidaritas buruh internasional dalam memperjuangkan hak-haknya.
Pada Juli 1886, mereka menyelenggarakan Kongres Sosialis Dunia di Paris yang melahirkan resolusi berisi : “Sebuah aksi internasional besar-besaran harus diorganisir pada satu hari tertentu di mana semua negara dan kota-kota pada waktu yang bersamaan, pada suatu hari yang disepakati bersama, semua buruh menuntut agar pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Perancis”. Resolusi tersebut juga menetapkan peristiwa Haymarket di AS tanggal 1 Mei, sebagai hari buruh sedunia.
Resolusi Kongres Sosialis Dunia ini mendapat sambutan yang luar biasa dari berbagai negara dan tanggal 1 Mei, yang disebut dengan istilah “May Day”, diperingati oleh kaum buruh di berbagai negara, meskipun mendapat tekanan keras dari pemerintah mereka, termasuk di Indonesia.
Persepsi yang menyebut gerakan buruh sebagai gerakan kiri menjadi tidak relevan jika dikaitkan dengan konsepsi agama, dimana semua agama memiliki konsep yang universal tentang keadilan dalam konteks perburuhan.
Buruh juga manusia. Setidaknya itu yang menjadi konsep dasar agama-agama menempatkan buruh pada proporsinya. Hak-hak kemanusiaan buruh yang universal secara umum berkisar pada masalah-masalah: (1). hak atas upah yang layak; (2). Hak untuk tidak dieksploitir; (3). Hak atas perlindungan kerja.
Ketiga hak tersebut merupakan esensi dari hak-hak dasar buruh yang harus diperhatikan oleh para penguasa (pemerintah) dan pengusaha (pemilik modal) agar tercipta situasi yang seimbang dan kondusif dalam iklim dunia usaha. Buruh bukanlah obyek, tapi subyek dari sebuah proses usaha yang berkaitan satu sama lain.
Pertalian antara Islam dan buruh, memang jarang dikupas oleh para pendakwah. Padahal dalam banyak referensi seperti dikutip Abdul Hady (2008) --- keberpihakan Islam terhadap buruh cukup banyak ditulis oleh para ulama fikih seperti terdapat dalam kitab “al-Iqna” karya Syaikh Muhammad al Syarbani dan kitab hadits Shahih al Buchori karya Imam al Buchori yang disusun dalam bab tersendiri, yakni “al Ijarah”. Para ulama fikih klasik mengistilahkan buruh dengan kata “ajir” yang berarti “orang yang bekerja”.
Peristiwa hukum penggal terhadap tokoh Sufi al Hallaj sangat erat kaitannya dengan fenomena perburuhan dan sama sekali tidak berhubungan dengan konsep al wihdatu al wujud (manunggaling kawulo gusti) yang dibawanya. Konsep al Hallaj tentang al wihdatu al wujud atau Ana al Haq telah dijadikan khalifah sebagai justifikasi pembenar untuk menjatuhkan hukuman mati kepada tokoh Sufi itu, karena dinilai menyebarkan aliran sesat.
Diceritakan oleh Hady, bahwa al Hallaj selain menjadi tokoh Sufi terkenal yang banyak diikuti oleh umat Islam, juga menjadi tokoh buruh yang ditengarai oleh penguasa saat itu sebagai penggerak buruh Katemain yang menentang kebijakan-kebijakan khalifah. Tentu saja, gerakan al Hallaj ini sangat mengkhawatirkan posisi khalifah. Lalu, penguasa melakukan konspirasi dengan ulama kebanyakan untuk mencari alasan yang dapat digunakan mengeksekusi al Hallaj; dan alasan yang digunakan adalah ajaran al Hallaj tentang al wihdatu al wujud itu yang dihukumi oleh penguasa dan ulama pada waktu itu sebagai aliran sesat dan karenanya tokoh sufi itu dijatuhi hukuman mati.
Secara umum Islam membagi dua macam ibadah, yaitu: Pertama, ibadah khusus (al ibadah al mahdhah) yang bersifat vertikal dan telah ditentukan macamnya, tata cara dan syarat rukunnya, seperti: shalat, zakat, puasa dan haji. Kedua, ibadah umum (al ibadah al ghair al mahdhah) adalah ibadah yang jenis dan macamnya tidak ditentukan. Ibadah jenis ini umumnya berkaitan dengan segala kegiatan manusia (al muamalah) yang tidak dirinci jenisnya satu persatu. Kitab suci Al-qur’an lebih banyak mengisyaratkan persoalan ibadah yang berkaitan dengan konteks hubungan antar sesama (muamalah) daripada ibadah yang bernuansa ritual. Salah satu jenis ibadah yang banyak dikupas dalam fikih Islam adalah masalah perburuhan.
Al Hallaj merupakan tokoh (Sufi) yang mampu “mengawinkan” konsep ilahiyat yang bersifat vertikal dengan dimensi sosial yang bersifat horizontal/kemanusiaan. Kesufian al Hallaj telah memancarkan cahaya yang terang bagi gerakan pembebasan umat manusia yang mengalami tekanan, kesewenang-wenangan dan ketidak adilan dari umat manusia yang lain.
Keberpihakan Islam terhadap buruh bukan tanpa alasan, sebab buruh merupakan komunitas sosial yang cukup rawan dieksploitir oleh majikan atau pemilik modal. Banyak kasus yang kita jumpai tentang cerita buruh yang mendapat perlakuan tidak adil dari majikannya. Contoh paling aktual adalah kasus Herlina, TKW asal Sidoarjo yang lolos dari hukuman mati di Malaysia. Kini, setelah menjalani proses hukum, dan mendekam di penjara, TKW ini dibebaskan. Dan masih banyak lagi kasus-kasus lain yang berhubungan dengan ketidak-adilan majikan terhadap buruh.
Karena statusnya yang rawan ini, maka Islam jauh-jauh hari telah memberikan pedoman umum tentang konsep perburuhan, agar para pekerja mendapatkan perlakuan yang adil dari majikan maupun penguasa.
Pedoman Islam tercermin dalam al-Qur’an, seperti dikutip dalam surat al Ahqaf:19, yang menguraikan tentang penghargaan, agar majikan memperhatikan para pekerja sesuai kualitas pekerjaannya dengan pendekatan kesejahteraan. Dalam sebuah hadits Nabi Saw, juga dijelaskan agar para majikan harus membayar upah buruh sebelum kering keringatnya.
Uraian di atas merupakan salah satu contoh, betapa Islam benar-benar memperhatikan nasib buruh. Adapun penjelasan secara rinci dapat dibaca dalam hadits maupun kitab-kitab klasik yang secara spesifik menguraikan masalah perburuhan (al Ijarah).Dengan demikian, menstigmakan gerakan buruh dengan kelompok kiri/sosialis menjadi terbantahkan; apalagi jika para pendakwah secara intens dapat menyampaikan misi Islam atas buruh, maka akan semakin menguatkan anggapan bahwa Islam benar-benar memperhatikan nasib kaum pekerja. (Nico Ainul Yakin, Pemimpin Redaksi Tabloid KERJA)
Sejauh ini gerakan buruh dimanapun, (hampir) selalu dipersepsikan sebagai gerakan kiri yang bercorak sosialis. Persepsi itu ada benarnya, apabila dikaitkan dengan peristiwa Haymarket, 1 Mei 1886, di mana sekitar 400 ribu buruh di Amerika Serikat mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja mereka menjadi 8 jam sehari --- yang dibalas dengan tindakan represif aparat kepolisian setempat dengan cara menembaki para demonstran, menangkap dan menghukum mati para pemimpinnya.
Peristiwa Haymarket tersebut telah menjadi inspirasi bagi kaum buruh di sejumlah negara di Eropa dan Amerika untuk membangun solidaritas buruh internasional dalam memperjuangkan hak-haknya.
Pada Juli 1886, mereka menyelenggarakan Kongres Sosialis Dunia di Paris yang melahirkan resolusi berisi : “Sebuah aksi internasional besar-besaran harus diorganisir pada satu hari tertentu di mana semua negara dan kota-kota pada waktu yang bersamaan, pada suatu hari yang disepakati bersama, semua buruh menuntut agar pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Perancis”. Resolusi tersebut juga menetapkan peristiwa Haymarket di AS tanggal 1 Mei, sebagai hari buruh sedunia.
Resolusi Kongres Sosialis Dunia ini mendapat sambutan yang luar biasa dari berbagai negara dan tanggal 1 Mei, yang disebut dengan istilah “May Day”, diperingati oleh kaum buruh di berbagai negara, meskipun mendapat tekanan keras dari pemerintah mereka, termasuk di Indonesia.
Persepsi yang menyebut gerakan buruh sebagai gerakan kiri menjadi tidak relevan jika dikaitkan dengan konsepsi agama, dimana semua agama memiliki konsep yang universal tentang keadilan dalam konteks perburuhan.
Buruh juga manusia. Setidaknya itu yang menjadi konsep dasar agama-agama menempatkan buruh pada proporsinya. Hak-hak kemanusiaan buruh yang universal secara umum berkisar pada masalah-masalah: (1). hak atas upah yang layak; (2). Hak untuk tidak dieksploitir; (3). Hak atas perlindungan kerja.
Ketiga hak tersebut merupakan esensi dari hak-hak dasar buruh yang harus diperhatikan oleh para penguasa (pemerintah) dan pengusaha (pemilik modal) agar tercipta situasi yang seimbang dan kondusif dalam iklim dunia usaha. Buruh bukanlah obyek, tapi subyek dari sebuah proses usaha yang berkaitan satu sama lain.
Pertalian antara Islam dan buruh, memang jarang dikupas oleh para pendakwah. Padahal dalam banyak referensi seperti dikutip Abdul Hady (2008) --- keberpihakan Islam terhadap buruh cukup banyak ditulis oleh para ulama fikih seperti terdapat dalam kitab “al-Iqna” karya Syaikh Muhammad al Syarbani dan kitab hadits Shahih al Buchori karya Imam al Buchori yang disusun dalam bab tersendiri, yakni “al Ijarah”. Para ulama fikih klasik mengistilahkan buruh dengan kata “ajir” yang berarti “orang yang bekerja”.
Peristiwa hukum penggal terhadap tokoh Sufi al Hallaj sangat erat kaitannya dengan fenomena perburuhan dan sama sekali tidak berhubungan dengan konsep al wihdatu al wujud (manunggaling kawulo gusti) yang dibawanya. Konsep al Hallaj tentang al wihdatu al wujud atau Ana al Haq telah dijadikan khalifah sebagai justifikasi pembenar untuk menjatuhkan hukuman mati kepada tokoh Sufi itu, karena dinilai menyebarkan aliran sesat.
Diceritakan oleh Hady, bahwa al Hallaj selain menjadi tokoh Sufi terkenal yang banyak diikuti oleh umat Islam, juga menjadi tokoh buruh yang ditengarai oleh penguasa saat itu sebagai penggerak buruh Katemain yang menentang kebijakan-kebijakan khalifah. Tentu saja, gerakan al Hallaj ini sangat mengkhawatirkan posisi khalifah. Lalu, penguasa melakukan konspirasi dengan ulama kebanyakan untuk mencari alasan yang dapat digunakan mengeksekusi al Hallaj; dan alasan yang digunakan adalah ajaran al Hallaj tentang al wihdatu al wujud itu yang dihukumi oleh penguasa dan ulama pada waktu itu sebagai aliran sesat dan karenanya tokoh sufi itu dijatuhi hukuman mati.
Secara umum Islam membagi dua macam ibadah, yaitu: Pertama, ibadah khusus (al ibadah al mahdhah) yang bersifat vertikal dan telah ditentukan macamnya, tata cara dan syarat rukunnya, seperti: shalat, zakat, puasa dan haji. Kedua, ibadah umum (al ibadah al ghair al mahdhah) adalah ibadah yang jenis dan macamnya tidak ditentukan. Ibadah jenis ini umumnya berkaitan dengan segala kegiatan manusia (al muamalah) yang tidak dirinci jenisnya satu persatu. Kitab suci Al-qur’an lebih banyak mengisyaratkan persoalan ibadah yang berkaitan dengan konteks hubungan antar sesama (muamalah) daripada ibadah yang bernuansa ritual. Salah satu jenis ibadah yang banyak dikupas dalam fikih Islam adalah masalah perburuhan.
Al Hallaj merupakan tokoh (Sufi) yang mampu “mengawinkan” konsep ilahiyat yang bersifat vertikal dengan dimensi sosial yang bersifat horizontal/kemanusiaan. Kesufian al Hallaj telah memancarkan cahaya yang terang bagi gerakan pembebasan umat manusia yang mengalami tekanan, kesewenang-wenangan dan ketidak adilan dari umat manusia yang lain.
Keberpihakan Islam terhadap buruh bukan tanpa alasan, sebab buruh merupakan komunitas sosial yang cukup rawan dieksploitir oleh majikan atau pemilik modal. Banyak kasus yang kita jumpai tentang cerita buruh yang mendapat perlakuan tidak adil dari majikannya. Contoh paling aktual adalah kasus Herlina, TKW asal Sidoarjo yang lolos dari hukuman mati di Malaysia. Kini, setelah menjalani proses hukum, dan mendekam di penjara, TKW ini dibebaskan. Dan masih banyak lagi kasus-kasus lain yang berhubungan dengan ketidak-adilan majikan terhadap buruh.
Karena statusnya yang rawan ini, maka Islam jauh-jauh hari telah memberikan pedoman umum tentang konsep perburuhan, agar para pekerja mendapatkan perlakuan yang adil dari majikan maupun penguasa.
Pedoman Islam tercermin dalam al-Qur’an, seperti dikutip dalam surat al Ahqaf:19, yang menguraikan tentang penghargaan, agar majikan memperhatikan para pekerja sesuai kualitas pekerjaannya dengan pendekatan kesejahteraan. Dalam sebuah hadits Nabi Saw, juga dijelaskan agar para majikan harus membayar upah buruh sebelum kering keringatnya.
Uraian di atas merupakan salah satu contoh, betapa Islam benar-benar memperhatikan nasib buruh. Adapun penjelasan secara rinci dapat dibaca dalam hadits maupun kitab-kitab klasik yang secara spesifik menguraikan masalah perburuhan (al Ijarah).Dengan demikian, menstigmakan gerakan buruh dengan kelompok kiri/sosialis menjadi terbantahkan; apalagi jika para pendakwah secara intens dapat menyampaikan misi Islam atas buruh, maka akan semakin menguatkan anggapan bahwa Islam benar-benar memperhatikan nasib kaum pekerja. (Nico Ainul Yakin, Pemimpin Redaksi Tabloid KERJA)
Kru Redaksi Tabloid KERJA

Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi : H.N.Ainul Yakin
Redaksi Pelaksana: Yupiter S
Redaktur: Meiga Ridwan
Redaksi: Ulfie F, Zainul, Dipo
Lay out: Ali Masrur
Marketing Iklan: Ulfi, Lubis, Mahali
Koordinator Sirkulasi: Deyisnil F
Sekretaris Redaksi: Naufal
Keuangan : M. Dahlan
Alamat Redaksi/Iklan/Sirkulasi: Pasar Wisata Juanda J / 27 Sedati Sidoarjo
Telp/Fax (031) 8682393
e-mail: tabloidkerja@yahoo.com
web: tabloidkerja.blogspot.com
Minggu, 02 Maret 2008
Tetap Semangat!
Salah satu faktor ketertinggalan bangsa Indonesia dari bangsa lain didunia adalah semangat kerja yang cenderung kurang tinggi.
Padahal, ketersediaan sumber daya alam dan manusia sangat besar tapi kenapa masih tertinggal dari negara lain?
Semangat kerja, inilah salah satu faktor yang menjadi penghambatnya. Semangat kerja bangsa Indonesia dinilaio banyak pihak masih rendah. Padahal, kalau kita mau, bangsa Indonesia bisa mengalahkan bangsa-bangsa lain.
Untuk itulah, tabloid Kerja ini lahir. Tabloid Kerja berdiri sebagai salah satu jawaban untuk memacu semangat kerja bangsa yang masih rendah. Berbagai informasi tentang dunia kerja bisa Anda ikuti disini.
Walau rintangan apapun menghadang, kita harus tetap semangat!
Padahal, ketersediaan sumber daya alam dan manusia sangat besar tapi kenapa masih tertinggal dari negara lain?
Semangat kerja, inilah salah satu faktor yang menjadi penghambatnya. Semangat kerja bangsa Indonesia dinilaio banyak pihak masih rendah. Padahal, kalau kita mau, bangsa Indonesia bisa mengalahkan bangsa-bangsa lain.
Untuk itulah, tabloid Kerja ini lahir. Tabloid Kerja berdiri sebagai salah satu jawaban untuk memacu semangat kerja bangsa yang masih rendah. Berbagai informasi tentang dunia kerja bisa Anda ikuti disini.
Walau rintangan apapun menghadang, kita harus tetap semangat!
Langganan:
Postingan (Atom)